Arakan Pompong Napas Tradisi Laut Suku Duano

Arakan Pompong salah satu tradisi yang menjadi destinasi wisata di Jambi. -foto ; Net.--
Radarlambar.Bacakoran.co - Di sudut timur Provinsi Jambi, tepatnya di Kampung Laut, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, hidup sebuah komunitas yang menjadikan laut sebagai nadi kehidupan. Merekalah suku Duano, kelompok masyarakat pesisir yang dikenal memiliki ketergantungan erat terhadap perairan. Kehidupan mereka tak lepas dari laut, baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai ruang kultural yang membentuk identitas.
Dari sekian banyak tradisi yang dijaga dan diwariskan secara turun-temurun, arakan pompong menjadi salah satu warisan budaya yang paling mencolok. Prosesi ini digelar sebagai bagian dari Festival Bedak Sejuk Duano, sebuah perayaan tahunan yang tidak hanya meriah tetapi juga sarat makna historis. Dalam prosesi itu, perahu-perahu kecil bermesin yang dalam istilah lokal disebut pompon dihias sedemikian rupa, lalu beriringan melintasi perairan di sekitar Kampung Laut.
Tradisi arakan ini bukan sekadar hiasan budaya. Ia merupakan representasi dari perjalanan sejarah leluhur suku Duano yang dahulu bermigrasi dari pesisir Riau menuju wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Provinsi Jambi. Pompong, yang dahulu menjadi alat transportasi utama, kini menjelma sebagai simbol kebanggaan dan kekuatan komunitas.
Pompong bukan sekadar perahu. Bagi masyarakat Duano, ia adalah bagian tak terpisahkan dari keseharian. Hampir semua kepala keluarga memiliki perahu jenis ini sebagai alat utama untuk melaut. Mereka berangkat pagi-pagi buta, bermodalkan bahan bakar solar dan perbekalan seadanya, lalu menyusuri laut demi mencari ikan, udang, kerang, hingga sumbun sejenis kerang yang biasa ditemukan di beting.
Beting, yang berupa endapan pasir dan lumpur di tepi laut, menjadi lokasi penting dalam aktivitas tangkap harian masyarakat Duano. Selain memanfaatkan alat tangkap tradisional, warga juga memanfaatkan kekayaan kearifan lokal seperti penggunaan bedak sejuk untuk melindungi kulit dari panas matahari.
Bedak sejuk ini dibuat dari bahan-bahan alami seperti tepung beras, air mawar, dan rempah-rempah pilihan. Tidak hanya berguna secara fungsional, penggunaannya juga mencerminkan kekhasan budaya lokal yang masih terjaga. Bedak ini umum dipakai sebelum turun ke laut, saat mengikuti upacara adat, maupun dalam keseharian sebagai bentuk penghargaan terhadap alam.
Ciri khas lain yang tak kalah menarik adalah tenggolok penutup kepala tradisional yang digunakan oleh laki-laki Duano. Tenggolok berbentuk lipatan kain yang disusun dengan cara tertentu, kemudian dikenakan saat melaut atau menghadiri acara budaya.
Di Kampung Laut, rumah-rumah warga dibangun dalam bentuk panggung. Bangunan tersebut berdiri di atas tiang-tiang nibung, langsung menjorok ke perairan. Anak tangga di tiap rumah menyentuh permukaan air yang warnanya dapat berubah tergantung cuaca dan arus kadang kecokelatan, kadang kehitaman. Aroma khas laut pun menjadi bagian tak terhindarkan dari atmosfer perkampungan.
Tidak hanya masyarakat lokal yang meramaikan acara, pengunjung dari luar daerah pun ikut hadir. Perahu-perahu dihias penuh warna, pentas seni ditampilkan, serta aneka lomba tradisional diselenggarakan, mulai dari menghias tongkah hingga membelah ikan gulama. Selama festival berlangsung, Kampung Laut menjelma menjadi panggung budaya yang menawan.
Keberadaan festival ini menjadi bukti bahwa masyarakat suku Duano tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga berupaya menjadikannya sebagai kekuatan baru dalam sektor pariwisata. Pengunjung yang datang dapat merasakan langsung atmosfer kehidupan pesisir, menyusuri perairan dengan menaiki pompong hias, mengenakan bedak sejuk, hingga mencicipi masakan khas berbahan dasar hasil laut segar.
Tak hanya itu, Festival Bedak Sejuk Duano juga menjadi ruang edukasi budaya. Anak-anak muda dari berbagai latar belakang diajak untuk mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat pesisir. Interaksi antara warga lokal dan wisatawan menciptakan pertukaran pengetahuan dan pengalaman, memperluas pemahaman publik terhadap keragaman budaya di Nusantara.
Bagi masyarakat Kampung Laut, laut bukan hanya tempat mencari nafkah, melainkan juga medan untuk menjaga jati diri. Meski tantangan terus mengiringi, terutama perubahan iklim dan ancaman kerusakan ekosistem laut, semangat mereka tak surut. Pompong tetap menjadi andalan, bukan hanya untuk melaut, tapi juga sebagai lambang ketahanan budaya yang terus berlayar menghadapi masa depan.
Tradisi arakan pompong menjadi perwujudan kesetiaan terhadap leluhur dan kecintaan terhadap laut. Ia adalah representasi dari semangat masyarakat pesisir yang bersahaja namun penuh semangat menjaga warisan budaya. Dalam dentuman mesin perahu yang melaju di atas gelombang, terselip cerita panjang tentang identitas, perjuangan, dan harapan suku Duano.(yayan/*)