Utang Paylater Masyarakat RI Tembus Rp30 Triliun

OJK mencatat total utang masyarakat Indonesia di layanan Buy Now Pay Later (BNPL) alias paylater mencapai Rp30,47 triliun per Mei 2025. (Foto iStockphoto--
Radarlambar.bacakoran.co - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan lonjakan signifikan pada penggunaan layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih dikenal sebagai "paylater" di Indonesia. Hingga Mei 2025, total utang masyarakat melalui skema ini tercatat menembus angka Rp30,47 triliun, menunjukkan tren peningkatan konsumsi berbasis kredit digital yang kian masif.
Layanan BNPL saat ini ditawarkan tidak hanya oleh perusahaan teknologi finansial (fintech), tetapi juga oleh sektor perbankan dan perusahaan multifinance konvensional. Berdasarkan data resmi dari OJK, nilai kredit paylater yang disalurkan industri perbankan telah mencapai Rp21,89 triliun, sementara sektor multifinance menyumbang Rp8,58 triliun dari total pembiayaan tersebut.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, pertumbuhan pembiayaan paylater oleh bank mencatatkan tren tahunan yang signifikan, yakni sebesar 25,41 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Meski porsinya hanya sekitar 0,27 persen dari total portofolio kredit perbankan nasional, jumlah rekening aktif yang tercatat mencapai 24,79 juta menandakan luasnya jangkauan layanan ini di masyarakat.
Pertumbuhan pesat ini mengindikasikan bahwa layanan paylater kian diminati oleh masyarakat, terutama generasi muda dan kelompok pekerja urban yang membutuhkan fleksibilitas dalam mengatur pengeluaran. Namun demikian, lonjakan tersebut juga menimbulkan kekhawatiran terkait potensi overkredit dan tingginya risiko gagal bayar, khususnya pada kelompok masyarakat yang belum memiliki literasi keuangan yang memadai.
Di sisi lain, Kepala Eksekutif Pengawasan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman, mengungkapkan bahwa nilai pembiayaan paylater yang disalurkan oleh perusahaan multifinance mengalami kenaikan tahunan yang lebih tinggi, yaitu 54,26 persen. Angka ini jauh melampaui pertumbuhan di sektor perbankan, menandakan bahwa perusahaan pembiayaan konvensional pun semakin agresif dalam merambah sektor kredit digital.
Dalam laporan yang disampaikannya, Agusman mencatat bahwa per Mei 2025, total pembiayaan paylater dari sektor multifinance mencapai Rp8,58 triliun. Meskipun angkanya masih di bawah sektor perbankan, tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi ini mengindikasikan adanya potensi ekspansi yang cepat dalam waktu dekat.
Salah satu isu penting yang terus dipantau OJK adalah rasio pembiayaan bermasalah atau non-performing financing (NPF). Untuk sektor multifinance, NPF gross pada layanan paylater tercatat sebesar 3,74 persen pada Mei 2025, sedikit menurun dari 3,78 persen di bulan sebelumnya. Penurunan ini menunjukkan adanya perbaikan kualitas kredit, meskipun tingkat risiko kredit tetap berada dalam zona yang perlu diwaspadai.
Sementara itu, di sektor peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol), total outstanding pembiayaan mencapai Rp82,59 triliun. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, angka ini mengalami pertumbuhan 27,93 persen. Namun, tantangan dari sisi risiko kredit juga tidak bisa diabaikan. Tingkat wanprestasi pengembalian atau Tingkat Wanprestasi 90 Hari (TWP 90) tercatat sebesar 3,19 persen.
Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun akses terhadap pembiayaan menjadi lebih mudah dan cepat melalui platform digital, potensi kredit macet tetap menjadi tantangan struktural yang harus ditangani oleh otoritas dan pelaku industri.
Lonjakan layanan BNPL dan pinjaman online menandai perubahan signifikan dalam perilaku konsumsi masyarakat Indonesia, yang kini semakin bergantung pada pembiayaan berbasis teknologi. Namun, tanpa diimbangi dengan peningkatan literasi keuangan dan pengawasan yang ketat, pertumbuhan ini bisa membawa risiko sistemik, terutama bagi kalangan masyarakat yang belum sepenuhnya memahami implikasi penggunaan kredit digital.
OJK pun menegaskan perlunya sinergi antara regulator, pelaku industri, dan masyarakat dalam mengelola pertumbuhan ekosistem keuangan digital. Kebijakan yang bersifat protektif dan edukatif akan menjadi kunci dalam memastikan bahwa transformasi digital di sektor keuangan dapat berlangsung secara sehat, berkelanjutan, dan inklusif.(*/edi)