Kelompok Teroris Kini Melek AI: Dari Propaganda, Kripto, Sampai Senjata 3D

Ilustrasi. Otoritas pemberantasan teroris menemukan bahwa organisasi teroris global telah memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk menjalankan aksinya. Foto: iStock--
Radarlambar.bacakoran.co- Kelompok teroris global kini mulai memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk memperkuat aksi-aksi mereka. Dari perekrutan anggota, pengumpulan dana, hingga produksi senjata, teknologi ini dimanfaatkan untuk mempercepat proses dan memperluas jangkauan.
ISIS dan jaringan ekstremis lainnya seperti al-Qaida hingga kelompok sayap kanan seperti Base, dilaporkan telah menggunakan alat digital berbasis AI untuk mendukung agenda mereka. Mereka tidak hanya merekrut lewat platform online, tapi juga memanfaatkan mata uang kripto untuk transaksi tersembunyi, mengakses cetak biru senjata 3D, dan menyebar propaganda dalam berbagai format multimedia.
Seiring dengan semakin terbukanya akses terhadap sumber daya berbasis open source, upaya kontra-terorisme juga ikut berubah. Tantangannya makin rumit karena kelompok radikal ini tak lagi bermain di jalur konvensional. Mereka memanfaatkan teknologi seperti chatbot, generator teks, dan aplikasi AI lainnya untuk mendesain konten yang persuasif dan sulit dilacak.
Beberapa lembaga keamanan internasional disebut mulai khawatir. AI tidak menciptakan bentuk ancaman baru, tapi membuat yang lama menjadi lebih cepat, luas, dan sistematis. Penggunaan AI dalam merancang propaganda atau membuat buletin digital, misalnya, memungkinkan narasi kekerasan tersebar lebih luas dalam berbagai bentuk: teks, audio, hingga visual sintetis.
Beberapa saluran komunikasi terenkripsi yang digunakan kelompok ini bahkan sudah membagikan panduan tentang cara menggunakan AI, lengkap dengan daftar risiko dan peluangnya. Teknologi yang awalnya diciptakan untuk produktivitas, kini ikut dimanfaatkan untuk menyusun strategi, mencari celah keamanan, bahkan sebagai ‘asisten digital’ bagi para pelaku teror.
AI juga membuka jalan bagi mereka untuk lebih mandiri. Dengan kemampuan membuat situs web atau aplikasi dengan cepat, kelompok-kelompok ini tak lagi tergantung pada infrastruktur luar. Mereka bisa membangun sistem sendiri untuk menyebarkan pesan dan merekrut simpatisan.
Perkembangan ini mengingatkan kembali pada kejadian di tahun 2014, ketika ISIS menyiarkan eksekusi massal saat merebut Mosul. Saat itu dunia menyaksikan betapa kuatnya dampak media dalam menyebarkan teror. Kini, dengan adanya AI, kapasitas itu bertambah lipat ganda.
Sejumlah badan intelijen pun mulai menaruh perhatian lebih terhadap kripto, situs pencetak senjata 3D, dan aplikasi terenkripsi sebagai medan baru yang harus diawasi ketat. Dunia maya tak lagi sekadar saluran komunikasi, tapi sudah menjadi arena pertempuran strategi dan propaganda.
AI, yang semula hanya dianggap sebagai alat bantu kerja, kini berubah menjadi senjata dalam konflik yang lebih luas. Dunia dituntut untuk tidak hanya mengejar ketertinggalan teknologi, tapi juga menata ulang pendekatan terhadap keamanan digital yang kian kompleks.(*)