PPATK Blokir 31 Juta Rekening Tak Aktif, Dana Dijamin Utuh

Ilustrasi. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah memblokir sekitar 31 juta rekening tidak aktif. iStockphoto--
Radarlambar.bacakoran.co — Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memicu kehebohan publik setelah mengumumkan pemblokiran terhadap jutaan rekening bank yang dinilai tidak aktif bertransaksi. Langkah ini dilakukan sebagai bentuk penguatan sistem pengawasan terhadap potensi penyalahgunaan rekening oleh pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana keuangan.
Kebijakan pemblokiran rekening tersebut diumumkan pada Jumat (25/7), melalui unggahan media sosial resmi PPATK. Meskipun unggahan itu kemudian dihapus, reaksi publik sudah telanjur merebak. Masyarakat mempertanyakan legalitas, urgensi, serta keamanan dana yang terblokir.
Dalam klarifikasinya, PPATK menegaskan bahwa pemblokiran menyasar rekening dormant atau rekening yang tidak aktif dalam jangka waktu tertentu. Dasar kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Lembaga ini menilai bahwa rekening tidak aktif sangat rawan dimanfaatkan untuk menampung dana hasil kejahatan, termasuk korupsi, judi online, hingga jual beli rekening fiktif.
Meskipun sempat muncul kekhawatiran mengenai batas waktu tidak aktifnya rekening yang bisa menjadi alasan pemblokiran, PPATK menjelaskan bahwa tidak ada ketentuan baku mengenai durasi tiga atau enam bulan. Dalam hal ini, penilaian dilakukan berdasarkan analisis risiko, terutama jika rekening terbukti memiliki koneksi dengan aktivitas mencurigakan.
Sejauh ini, terdapat sekitar 31 juta rekening yang tidak lagi aktif, dengan nilai dana mengendap mencapai Rp6 triliun. Dari total itu, sekitar satu juta rekening diduga memiliki keterkaitan langsung dengan tindak pidana. Lebih dari 150 ribu di antaranya diketahui merupakan rekening nominee atau hasil peretasan, sementara lebih dari 50 ribu lainnya tidak pernah beraktivitas sebelum menerima aliran dana ilegal.
Selain itu, sebanyak 10 juta rekening penerima bantuan sosial tidak menunjukkan aktivitas transaksi dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, dengan akumulasi dana mengendap sebesar Rp2,1 triliun. Temuan ini menjadi indikasi belum optimalnya penyaluran bantuan sosial pemerintah.
Lebih lanjut, sekitar 2.000 rekening milik instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran juga diketahui berstatus tidak aktif, dengan total dana senilai Rp500 miliar. PPATK menilai hal ini berpotensi menimbulkan celah dalam pengelolaan keuangan negara.
Sebagai bentuk tindak lanjut, PPATK meminta pihak bank untuk melakukan verifikasi ulang terhadap rekening dormant. Nasabah yang merasa dirugikan dapat mengisi formulir keberatan melalui tautan resmi yang disediakan PPATK. Proses validasi oleh pihak bank dan lembaga keuangan tersebut akan berlangsung maksimal 20 hari kerja, dan dana nasabah akan dikembalikan sepenuhnya apabila tidak ditemukan unsur pelanggaran.
Dari sisi perlindungan dana, PPATK menjamin seluruh saldo rekening yang diblokir tetap aman. Tidak ada dana yang hangus atau disita, karena tujuan utama pemblokiran adalah memastikan tidak ada rekening yang dimanfaatkan sebagai instrumen kejahatan.
Lembaga tersebut juga memberikan rekomendasi agar sektor perbankan memperketat pengawasan terhadap rekening tidak aktif. Langkah ini mencakup penguatan kebijakan Know Your Customer (KYC), pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD), serta sosialisasi kepada nasabah mengenai pentingnya menjaga legalitas dan keteraturan rekening bank mereka.
Kebijakan ini diklaim sejalan dengan agenda Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, yang mendorong tata kelola sistem keuangan nasional yang bersih, transparan, dan bebas dari tindak pidana. Melalui tindakan ini, PPATK berupaya membentengi integritas keuangan nasional dari ancaman infiltrasi dana gelap, sekaligus memastikan hak nasabah sah tetap terlindungi.
PPATK mengajak masyarakat untuk proaktif memperbarui data perbankan dan menjaga penggunaan rekening secara bertanggung jawab. Lembaga ini juga mengingatkan bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana keuangan membutuhkan kolaborasi seluruh elemen, termasuk pemilik rekening dan lembaga keuangan itu sendiri.(*/edi)