Tubuh Kecil, Peran Besar: Cerita Evolusi di Balik Dimorfisme Australopithecus

Tubuh Kecil, Peran Besar Cerita Evolusi di Balik Dimorfisme Australopithecus. Foto/net--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO Ukuran tubuh dalam dunia primata ternyata lebih dari sekadar urusan fisik. Ia membawa petunjuk penting tentang cara hidup, struktur sosial, dan tekanan evolusi yang membentuk satu spesies. Inilah yang coba diungkap dari temuan baru dua spesies manusia purba: Australopithecus afarensis dan Australopithecus africanus.
Penelitian terbaru yang diterbitkan di American Journal of Biological Anthropology menunjukkan bahwa perbedaan ukuran tubuh antara jantan dan betina pada dua spesies ini sangat mencolok. Bahkan, tingkat perbedaannya lebih tinggi dibandingkan simpanse maupun manusia modern. Pada A. afarensis, jantan bisa jauh lebih besar dari betinanya—mungkin melebihi perbedaan ukuran tubuh pada gorila saat ini.
Fenomena ini, dalam istilah ilmiah, disebut dimorfisme seksual. Pada primata, dimorfisme seperti ini biasanya berkaitan erat dengan sistem sosial poligini, di mana jantan-jantan dominan bersaing keras untuk menguasai betina. Spesies dengan kompetisi antarjantan yang tinggi akan menunjukkan dimorfisme yang besar, seperti gorila. Sebaliknya, spesies yang hidup dalam pasangan monogami cenderung punya perbedaan ukuran jantan dan betina yang lebih kecil—seperti Homo sapiens.
Menariknya, meskipun A. afarensis dan A. africanus sering dikelompokkan bersama sebagai “gracile australopiths”, data terbaru menunjukkan bahwa keduanya berada dalam tekanan evolusi yang berbeda. A. afarensis lebih dimorfik secara seksual dibanding A. africanus, yang mengindikasikan sistem sosial yang lebih kompetitif dan hierarkis.
Untuk mendapatkan hasil ini, para peneliti menggunakan metode statistik canggih, termasuk rerata geometris dari berbagai elemen tulang seperti humerus, femur, dan tibia. Teknik resampling diterapkan untuk mensimulasikan ribuan skenario perbandingan dengan fosil modern seperti gorila, simpanse, dan manusia. Ini memungkinkan peneliti menarik kesimpulan bahkan dari sampel yang sangat terbatas.
Penelitian juga mematahkan asumsi bahwa perbedaan ukuran tersebut adalah hasil evolusi jangka panjang. Dalam kajian terhadap fosil A. afarensis selama 300.000 tahun di Hadar, Ethiopia, tidak ditemukan tren perubahan ukuran tubuh yang signifikan. Artinya, variasi itu kemungkinan besar berasal dari perbedaan jenis kelamin, bukan adaptasi evolusioner.
Salah satu penjelasan tambahan yang diajukan adalah stres sumber daya. Ketika makanan langka, betina yang lebih kecil bisa bertahan lebih baik secara metabolik dan bereproduksi lebih cepat, sehingga menciptakan kecenderungan dimorfisme dari generasi ke generasi.
Temuan ini penting dalam memahami bagaimana struktur sosial dan seleksi seksual membentuk jalan evolusi manusia. Australopithecus afarensis, yang hidup sekitar 3,9–2,9 juta tahun lalu, kemungkinan memiliki kehidupan sosial yang lebih kompetitif daripada yang selama ini diasumsikan. Sementara A. africanus, yang hidup belakangan, menunjukkan kecenderungan sosial yang lebih seimbang—barangkali cikal bakal struktur sosial manusia modern.
Dengan begitu, dimorfisme seksual bukan sekadar soal ukuran, tapi jendela untuk memahami bagaimana manusia menjadi manusia. Dan di balik kerangka fosil purba itu, tersembunyi kisah tentang adaptasi, strategi bertahan hidup, hingga percikan awal sistem sosial yang kita kenal hari ini. (*)