Menjelang 17 Agustus, Ancaman OPM Kembali Menggeliat: Warga Dihimbau Tak Kibarkan Merah Putih

Bendera Merah Putih. -Foto Sumbar-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Ketegangan jelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia kembali mencuat di tanah Papua. Kelompok bersenjata yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) kembali melancarkan manuver provokatif dengan melarang warga Papua menggelar upacara dan mengibarkan bendera Merah Putih pada 17 Agustus 2025.
Instruksi ini dirilis langsung oleh markas pusat OPM dan ditujukan kepada seluruh masyarakat di wilayah yang mereka klaim sebagai “zona konflik.” Mereka bahkan menegaskan bahwa hanya bendera Bintang Kejora yang diperbolehkan berkibar di tanah Papua, sementara upacara kemerdekaan Indonesia disebut tak relevan untuk dirayakan oleh masyarakat setempat.
Larangan ini tak hanya ditujukan pada aktivitas simbolik semata, namun juga dilengkapi dengan pengaturan wilayah yang diklaim sebagai zona terlarang bagi aparat negara. Sembilan kabupaten di Papua disebut sebagai area yang tidak boleh dimasuki oleh TNI, Polri, maupun warga non-Papua. Di antaranya adalah Yahukimo, Pegunungan Bintang, Nduga, Puncak Jaya, Intan Jaya, Maybrat, Dogiyai, Paniai, dan Deiyai.
Langkah OPM ini kembali memperlihatkan pola lama yang selalu mereka gunakan menjelang hari-hari besar nasional. Melalui ancaman, larangan, dan propaganda, kelompok ini berupaya membatasi ruang gerak negara dan mengintimidasi masyarakat sipil agar tidak menunjukkan kecintaan pada simbol-simbol kedaulatan Republik Indonesia.
TNI Nilai Langkah OPM Sebagai Teror Psikologis
Pihak Tentara Nasional, Indonesia tak tinggal diam menyikapi aksi OPM tersebut. Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih menganggap tindakan itu sebagai bentuk teror psikologis yang menyasar mental dan rasa nasionalisme warga. OPM dinilai mencoba menciptakan ketakutan dan suasana mencekam menjelang peringatan hari kemerdekaan, terutama di daerah-daerah rawan konflik.
Namun demikian, TNI tetap berkomitmen menjaga keamanan dan stabilitas wilayah. Mereka bersinergi dengan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan berbagai elemen sipil untuk memastikan peringatan HUT RI tetap berjalan dengan semarak dan aman. Sejumlah strategi non-konfrontatif pun mulai digencarkan melalui pendekatan teritorial, edukasi, serta penguatan nasionalisme di kalangan generasi muda Papua.
Meski tak ada penambahan personel secara khusus, Kodam Cenderawasih menyatakan kesiapannya menjaga keutuhan wilayah dan melindungi warga dari gangguan kelompok bersenjata.
Solidaritas Nasional: Papua Tetap Indonesia
Dukungan terhadap Papua sebagai bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia juga datang dari berbagai tokoh nasional. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menilai bahwa rakyat Papua memiliki kecintaan yang kuat terhadap Indonesia, meskipun kelompok separatis terus melakukan provokasi. Sikap masyarakat Papua dinilai konsisten menunjukkan loyalitas terhadap Merah Putih, meski dalam suasana yang penuh tekanan.
Sentimen nasionalisme itu juga diamini oleh para tokoh agama. Salah satunya datang dari John Bunay, koordinator pastor pribumi se-tanah Papua, yang menyampaikan bahwa hingga saat ini memang belum terlihat atribut kemerdekaan di beberapa wilayah seperti Intan Jaya. Namun berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, upacara peringatan HUT RI tetap digelar, meski dalam lingkup terbatas dan dijaga ketat oleh aparat keamanan.
Banyak daerah di Papua, terutama yang berada di wilayah pegunungan, memang tidak secara terbuka melaksanakan upacara lantaran potensi gangguan yang tinggi. Namun, hal ini tidak serta merta menghilangkan semangat nasionalisme masyarakat. Di sejumlah titik strategis seperti pos TNI dan Mapolres, pengibaran bendera Merah Putih tetap dilakukan dengan khidmat.
Pemerintah Pusat Tetap Waspada, Namun Optimis
Pemerintah pusat tak menanggapi ancaman OPM dengan kekhawatiran berlebihan. Penasehat Khusus Presiden Bidang Pertahanan, Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman, menegaskan bahwa pola ancaman seperti ini sudah berulang kali terjadi. Ia menilai bahwa aksi OPM tidak lebih dari suara segelintir kelompok yang ingin menarik perhatian, sedangkan mayoritas rakyat Papua justru tetap setia pada tanah air.