Dana Rp1,06 T Kopdes Merah Putih Tertahan, Desa Belum Ajukan Proposal
Mendes PDT Yandri Susanto. Foto Net--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Program pembiayaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) yang diharapkan mampu menggerakkan ekonomi desa menghadapi kendala serius. Hingga kini, dana pinjaman senilai Rp1,06 triliun yang sudah dialokasikan melalui bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) belum satu pun dicairkan.
Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT), Yandri Susanto, menjelaskan hambatan pencairan bukan pada kesiapan bank penyalur, melainkan karena koperasi desa yang belum mengajukan proposal bisnis resmi. Proposal tersebut menjadi syarat utama sebelum pinjaman dapat dikucurkan.
Menurut Yandri, pemerintah telah menugaskan Himbara—yang terdiri dari Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, dan Bank Syariah Indonesia (BSI)—untuk mendampingi 1.064 unit Kopdes di berbagai wilayah. Namun meski pendampingan berjalan, belum ada koperasi yang mengajukan rencana bisnis secara formal ke bank.
Dari total estimasi Rp1,06 triliun, kebutuhan pinjaman terdiri dari belanja modal Rp255,9 miliar dan belanja operasional Rp808 miliar. Adapun rinciannya:
BRI mendampingi 400 unit koperasi dengan kebutuhan Rp400 miliar, Mandiri 310 unit dengan Rp310 miliar, BNI 300 unit senilai Rp300 miliar, BSI 54 unit dengan Rp54 miliar.
Skema pinjaman dirancang fleksibel, dengan plafon maksimal Rp3 miliar per koperasi, tetapi bisa lebih kecil sesuai kebutuhan, mulai dari Rp500 juta hingga Rp2 miliar.
Pengajuan pinjaman harus dilakukan bersama oleh ketua koperasi, pengurus, dan kepala desa. Proses ini dipandang penting untuk menjamin keterlibatan pemerintah desa sekaligus meningkatkan akuntabilitas. Meski demikian, keputusan akhir tetap berada di tangan pihak bank setelah verifikasi kelayakan usaha.
Kendala utama saat ini adalah keterlambatan pengajuan proposal. Sebagian besar koperasi belum memiliki dokumen rencana bisnis yang memadai. Yandri menilai hal ini bisa dimaklumi karena sebelumnya dana di Himbara juga belum siap, sehingga pengurus koperasi menunda proses administrasi.
Selain masalah administrasi, variasi kebutuhan antar-desa juga membuat setiap proposal membutuhkan rancangan berbeda. Di beberapa wilayah, koperasi membutuhkan pembiayaan untuk distribusi LPG atau pupuk, sementara di daerah lain fokusnya pada pengadaan sembako atau usaha perdagangan lokal.
Hal ini menjadikan proses penyusunan proposal lebih kompleks dibandingkan skema kredit biasa. Bank pun harus lebih cermat menilai model bisnis koperasi, mengingat kemampuan manajerial tiap desa sangat beragam.
Meski belum berjalan optimal, pemerintah optimistis program Kopdes Merah Putih akan berdampak besar pada penciptaan lapangan kerja di pedesaan. Menurut Yandri, koperasi desa pada dasarnya adalah wadah usaha produktif yang dikelola langsung oleh masyarakat. Dengan adanya pembiayaan, koperasi akan mampu menyerap tenaga kerja lokal, baik dalam distribusi barang, pengelolaan usaha, maupun layanan logistik.
Program Kopdes Merah Putih sendiri ditargetkan dapat menjangkau hingga 80 ribu desa di seluruh Indonesia. Jika berhasil berjalan sesuai skema, program ini berpotensi menjadi salah satu motor penggerak ekonomi kerakyatan di tingkat desa, sekaligus memperkuat ketahanan pangan dan distribusi logistik nasional.
Namun demikian, sejumlah pengamat menilai program ini rawan terkendala di tahap implementasi. Kapasitas manajerial koperasi desa yang beragam dikhawatirkan membuat banyak unit kesulitan menyusun proposal layak. Jika pencairan lambat, potensi manfaat ekonomi bisa tertunda bahkan gagal tercapai.
Selain itu, belum jelas mekanisme mitigasi risiko kredit macet. Dengan plafon pinjaman mencapai miliaran rupiah per koperasi, tanpa pendampingan intensif dan tata kelola yang kuat, bank bisa menghadapi beban risiko yang cukup besar.