Indonesia Bidik 10 Persen Lagi Saham PT Freeport

PT Freeport Indonesia (PTFI) di Tambang Grasberg, Distrik Tembagapura, Mimika, Papua. Foto Dok PT Freeport--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Pemerintah Indonesia kembali membuka negosiasi dengan Freeport-McMoRan terkait rencana penambahan kepemilikan saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah menargetkan tambahan minimal 10 persen saham, bahkan ada potensi lebih besar. Upaya ini sekaligus disandingkan dengan wacana perpanjangan kontrak operasi tambang hingga 2061.
Saat ini, Indonesia melalui holding tambang MIND ID sudah memegang 51 persen saham PTFI, hasil divestasi sejak 2018 di era Presiden Joko Widodo. Dengan kepemilikan mayoritas tersebut, secara formal Indonesia berstatus sebagai pemegang saham pengendali. Namun dalam praktik, dominasi keputusan strategis masih banyak dipengaruhi oleh induk usaha asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan.
Ekonom energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menekankan bahwa wacana perpanjangan kontrak hingga 2061 terlalu berisiko. Menurutnya, 30 tahun ke depan penuh dengan ketidakpastian, baik dari sisi geopolitik, perubahan regulasi, maupun perkembangan teknologi tambang. Ia menilai penambahan saham tanpa embel-embel perpanjangan kontrak masih bisa diterima, tetapi jika syaratnya kontrak diperpanjang lebih dari tiga dekade, maka itu justru bisa menjadi kerugian besar bagi negara.
Fahmy menambahkan, tidak ada aturan dalam Undang-Undang Minerba yang secara eksplisit mewajibkan penambahan saham Freeport oleh pemerintah. Regulasi lebih menekankan pada kewajiban hilirisasi, terutama pembangunan smelter di dalam negeri. Dengan demikian, menambah saham justru bisa menimbulkan polemik hukum jika dipaksakan tanpa dasar undang-undang yang kuat.
Meskipun Indonesia telah memegang 51 persen, Freeport-McMoRan tetap dianggap lebih dominan dalam keputusan operasional, misalnya ketika terjadi gangguan smelter hingga ekspor konsentrat. Menurut Fahmy, selama kendali manajemen tidak benar-benar beralih ke MIND ID, maka tambahan 10 persen saham hanya akan menghasilkan dividen lebih besar tanpa memberi kedaulatan penuh bagi Indonesia atas sumber daya mineralnya.
Ia menegaskan, poin paling krusial dalam negosiasi adalah memastikan posisi kendali berada di tangan Indonesia. Tanpa itu, keputusan strategis tetap ditentukan pihak asing, sementara risiko jangka panjang ditanggung pemerintah.
Dari sisi finansial, tambahan saham Freeport memang berpotensi meningkatkan penerimaan dividen negara. Namun, keuntungan ini dinilai tidak akan signifikan karena Freeport kini telah masuk fase penambangan bawah tanah (undermining), yang membutuhkan teknologi lebih kompleks dan biaya jauh lebih besar dibanding tambang terbuka sebelumnya. Dengan biaya investasi dan operasional yang meningkat, laba perusahaan berisiko menurun, sehingga dividen tambahan tidak sebanding dengan modal yang harus dikeluarkan pemerintah.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menekankan bahwa kepemilikan saham lebih besar tidak boleh berhenti pada kebanggaan simbolis. Ia menilai, pemerintah harus memastikan bahwa saham tambahan benar-benar memberikan nilai tambah bagi masyarakat luas. Jika hilirisasi tembaga dan emas tidak dipercepat, kepemilikan mayoritas tidak akan berarti banyak.
Bhima juga menyoroti aspek lingkungan yang selama ini ditimbulkan Freeport. Menurutnya, jika pemerintah menambah porsi saham, maka tanggung jawab atas kerusakan lingkungan otomatis ikut membesar. Hal ini justru bisa menjadi beban fiskal, apalagi ketika kondisi penerimaan pajak negara sedang terbatas.
Kedua pengamat sepakat bahwa nasionalisme dalam penguasaan sumber daya mineral memang penting. Namun, langkah ini tidak boleh didorong oleh sentimen politik semata. Tanpa kajian rasional mengenai keuntungan finansial, kendali manajemen, dan mitigasi dampak lingkungan, penambahan saham bisa menjadi keputusan yang lebih banyak mendatangkan risiko ketimbang manfaat.
Dalam situasi ini, negosiasi yang dijalankan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bersama manajemen Freeport harus memastikan beberapa hal: kendali manajemen harus beralih penuh ke MIND ID, syarat hilirisasi harus ditegakkan, dan pemerintah tidak boleh menanggung biaya lingkungan secara sepihak. Jika semua syarat itu tidak dipenuhi, maka opsi menambah 10 persen saham dengan kontrak hingga 2061 sebaiknya ditinjau ulang.(*/edi)