Dua Uji Lab di China Terbukti Food Tray MBG Mengandung Babi

NU DKI mengungkap hasil uji lab yang dilakukan di 2 lokasi di China menunjukkan proses produksi food tray untuk program MBG memakai unsur minyak babi. -Ilustrasi CNN Indonesia-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Polemik impor food tray untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) semakin menguat setelah Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) DKI Jakarta merilis hasil pengujian laboratorium terhadap baki makan yang diproduksi di China. Hasil uji itu menunjukkan bahwa proses pencetakan baki tersebut menggunakan minyak atau lemak babi, sehingga memicu penolakan keras dari kalangan ulama NU di Jakarta.
Wakil Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta, Wafa Riansah, menegaskan bahwa fakta laboratorium ini menjadi dasar bagi pihaknya untuk meminta pemerintah segera menghentikan impor baki MBG dari luar negeri. Menurut RMI-NU, meskipun produk itu tidak mengandung unsur babi pada hasil akhir setelah melalui proses pencucian dan sterilisasi, penggunaan minyak babi dalam proses produksinya tetap menjadikannya tidak halal.
Ketua RMI-NU DKI Jakarta, Rakhmad Zailani Kiki, memperdalam penjelasan dengan menekankan bahwa standar halal di Indonesia tidak hanya dinilai dari hasil akhir produk yang bersih dari unsur haram, melainkan juga dari proses pembuatannya. Rakhmad menilai bahwa penggunaan bahan najis atau haram, baik alkohol maupun minyak babi, sejak tahap produksi sudah cukup untuk menjadikan produk itu tidak layak edar bagi masyarakat muslim.
RMI-NU telah menyampaikan laporan resmi kepada Kementerian Perdagangan. Selain menghentikan impor, organisasi ini mendesak agar pemerintah segera menerapkan standar wajib berupa Standar Nasional Indonesia (SNI) pada seluruh produk baki makan yang digunakan untuk program pemerintah. Standar itu dinilai penting agar ke depan tidak ada lagi produk yang masuk tanpa melalui verifikasi keamanan pangan sekaligus kehalalan proses produksinya.
Di sisi lain, kebutuhan akan baki MBG memang terbilang mendesak. Ketua RMI-NU DKI Jakarta mengakui bahwa program prioritas Presiden Prabowo Subianto membutuhkan jutaan baki setiap bulan. Namun, menurutnya, keterdesakan tidak boleh menjadi alasan untuk terus mengandalkan impor dengan risiko bahan tidak halal. Ia menekankan agar pelaku usaha lokal diberi ruang lebih besar untuk memproduksi baki yang sesuai syariat, halal, thayyib, sekaligus memenuhi standar mutu nasional.
Pernyataan berbeda datang dari pemerintah. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, memastikan bahwa baki MBG yang diproduksi di dalam negeri sama sekali tidak menggunakan minyak babi. Ia menjelaskan bahwa bahan baku baki adalah logam seperti nikel, sementara minyak hanya dipakai pada mesin pencetak agar tidak panas dan lebih mudah digunakan. Menurut penjelasannya, minyak itu kemudian dibersihkan secara menyeluruh setelah pencetakan sehingga produk akhir bebas dari unsur apapun yang dituding berbahaya atau haram.
Dadan juga menambahkan, kapasitas produksi dalam negeri baru mampu memenuhi 11,6 juta unit baki dari kebutuhan 15 juta unit per bulan. Keterbatasan ini menjadi alasan pemerintah masih membuka keran impor. Namun, ia menegaskan bahwa produksi lokal selalu menggunakan minyak nabati, bukan minyak babi, dalam proses pencetakan.
Persoalan baki MBG ini menyentuh isu yang lebih luas terkait regulasi halal di Indonesia. Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) sudah mewajibkan sertifikasi halal tidak hanya untuk produk pangan, tetapi juga untuk barang gunaan seperti wadah makanan. Aturan ini secara bertahap berlaku penuh hingga 2026. Artinya, kontroversi baki impor ini bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk mempercepat pengawasan dan sertifikasi, sehingga masyarakat tidak lagi diperdebatkan dengan isu halal-haram di kemudian hari.
Dengan kebutuhan yang terus meningkat dan sensitivitas masyarakat terhadap isu halal, pemerintah kini dihadapkan pada dilema antara percepatan pemenuhan program gizi nasional dan ketegasan menjaga standar halal. NU melalui RMI-NU DKI Jakarta menegaskan bahwa keberhasilan program MBG tidak hanya diukur dari terpenuhinya gizi masyarakat, tetapi juga dari jaminan bahwa sarana pendukungnya sesuai syariat dan tidak menimbulkan kegelisahan di tengah umat.(*/edi)