7 Perusahaan Asuransi Terancam Rugi Rp19 Triliun

OJK mengungkap 7 perusahaan asuransi terancam rugi Rp19,34 triliun dan mengalami penurunan nilai manfaat 52,91 persen. Ilustrasi Foto Istockphoto--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti kondisi keuangan sejumlah perusahaan asuransi yang dinilai tidak sehat. Dalam rapat bersama Panitia Kerja Komisi XI DPR yang membahas revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, memaparkan adanya tujuh perusahaan asuransi yang berada dalam kategori pengawasan intensif maupun khusus. Perusahaan-perusahaan tersebut, menurut OJK, berpotensi menanggung kerugian hingga Rp19,34 triliun, dengan penurunan nilai manfaat mencapai lebih dari 50 persen.
Meski tidak merinci identitas perusahaan yang dimaksud, Ogi menegaskan bahwa permasalahan ini menjadi tantangan besar bagi regulator. Untuk itu, OJK mengusulkan agar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tidak hanya berperan dalam likuidasi perusahaan asuransi yang insolven, melainkan juga diberi mandat melakukan resolusi. Usulan ini sejalan dengan program penjaminan polis yang saat ini sudah tercantum dalam UU P2SK. Dengan perluasan kewenangan, LPS diharapkan mampu lebih proaktif menyelamatkan perusahaan asuransi bermasalah agar kepentingan nasabah tetap terlindungi.
Pengamat asuransi, Ivan Rahardjo, menjelaskan bahwa kerugian perusahaan asuransi umumnya dipicu oleh lemahnya tata kelola dan permodalan. Banyak perusahaan tidak mampu menjaga keseimbangan antara aset dan kewajiban, yang terlihat dari rendahnya rasio risk based capital (RBC). Menurut ketentuan OJK, setiap perusahaan asuransi wajib memiliki RBC minimal 120 persen agar mampu membayar klaim nasabah. Namun, dalam kasus perusahaan yang bermasalah, angka tersebut jauh di bawah standar.
Ivan juga menyoroti praktik investasi yang tidak sehat. Sebagian dana perusahaan ditempatkan pada instrumen yang sulit ditagih atau tidak produktif. Akibatnya, aset yang seharusnya digunakan untuk menutup klaim justru macet. Kondisi ini, kata Ivan, dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi, meskipun secara makro dampaknya belum mengganggu stabilitas perekonomian nasional karena kontribusi sektor asuransi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif kecil, sekitar 5,16 persen pada Februari 2025.
Selain persoalan modal, risiko kerugian juga muncul dari praktik bisnis asuransi itu sendiri. Pengamat asuransi lain, Arman Jufry, menilai bahwa perusahaan asuransi jiwa kerap terjebak dalam kesalahan underwriting. Proses seleksi dan penilaian risiko nasabah yang tidak akurat membuat perusahaan menanggung klaim lebih besar dari yang diperkirakan. Sementara itu, di sektor asuransi umum, masalah sering muncul dari long tail claim, yaitu klaim yang baru diajukan atau dibayarkan bertahun-tahun setelah polis diterbitkan. Jika perusahaan gagal mencadangkan premi secara memadai untuk mengantisipasi kondisi tersebut, maka kerugian tidak bisa dihindari.
Arman menekankan pentingnya disiplin dalam proses underwriting, penetapan premi yang wajar, serta pencadangan dana yang sesuai standar aktuaria. Menurutnya, pengawasan dari regulator juga sangat krusial. Tanpa kontrol ketat, risiko kerugian tidak hanya membahayakan perusahaan tetapi juga dapat merugikan jutaan nasabah yang mempercayakan perlindungan finansial mereka kepada industri asuransi.
Kasus tujuh perusahaan asuransi yang diawasi ketat oleh OJK menjadi pengingat bahwa industri ini masih rentan terhadap praktik bisnis yang tidak sehat. Reformasi regulasi, peningkatan pengawasan, serta penguatan permodalan menjadi pekerjaan rumah yang mendesak. Usulan untuk memperluas peran LPS melalui revisi UU P2SK pun menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mencari jalan keluar yang lebih komprehensif.(*/edi)