Penjualan Pertalite Turun, Negara Hemat Rp12,6 Triliun

Kementerian ESDM mencatat penjualan BBM jenis Pertalite turun 5,10 persen dari penyaluran 81.106 kiloliter (kl) per hari pada 2024 menjadi 76.970 kl per hari. Ilustrasi foto ANTARA--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite mengalami penurunan signifikan sepanjang tahun ini. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat penyaluran Pertalite rata-rata hanya mencapai 76.970 kiloliter (kl) per hari, turun 5,10 persen dari 81.106 kl per hari pada 2024.
Meski terlihat sebagai penurunan konsumsi, fakta ini justru membawa kabar baik bagi keuangan negara. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM, Laode Sulaeman, menyampaikan penurunan tersebut berdampak langsung pada turunnya beban kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah kepada PT Pertamina (Persero).
“Kalau dilihat dari sisi kompensasi, angkanya turun dari Rp48,9 triliun menjadi Rp36,314 triliun. Artinya negara hemat sekitar Rp12,6 triliun karena adanya shifting konsumsi dari Pertalite ke BBM non-subsidi,” ujar Laode saat rapat kerja bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (1/10).
Fenomena ini menurut Laode disebabkan oleh perubahan perilaku masyarakat. Konsumen semakin banyak yang meninggalkan BBM bersubsidi dengan Research Octane Number (RON) 90, dan beralih ke bahan bakar dengan RON lebih tinggi seperti Pertamax dan Pertamax Turbo.
Data resmi mencatat penjualan bensin non-subsidi naik dari 19.061 kl pada 2024 menjadi 22.723 kl pada 2025, atau melonjak 19,21 persen. Kenaikan ini ikut mendongkrak pangsa pasar BBM non-subsidi dari 11 persen pada tahun lalu menjadi 15 persen dalam periode Januari–Juli 2025.
“Ini menunjukkan konsumen Pertalite mulai beralih ke BBM yang lebih berkualitas,” kata Laode.
Penurunan konsumsi Pertalite dipandang pemerintah sebagai peluang efisiensi fiskal. Anggaran yang biasanya terserap untuk kompensasi BBM subsidi kini bisa ditekan, sehingga ruang fiskal negara lebih longgar untuk kebutuhan lain.
Namun, tren ini juga menyimpan catatan penting. Peralihan konsumsi ke BBM non-subsidi menunjukkan sebagian masyarakat masih memiliki daya beli cukup untuk membeli bahan bakar dengan harga lebih tinggi. Di sisi lain, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah masih menggantungkan kebutuhan transportasinya pada Pertalite.
Ekonom menilai fenomena ini bisa menjadi sinyal awal untuk pemerintah jika hendak mengurangi ketergantungan pada BBM bersubsidi. Meski begitu, kebijakan harus tetap memperhatikan kelompok rentan agar tidak menimbulkan gejolak sosial.
Dalam konteks transisi energi, pergeseran konsumsi dari BBM bersubsidi ke non-subsidi juga dapat dibaca sebagai momentum untuk mendorong efisiensi energi nasional. Penggunaan bahan bakar dengan kualitas lebih baik bukan hanya mengurangi beban fiskal, tetapi juga menekan emisi dan memperbaiki kualitas udara.
Meski demikian, pemerintah dihadapkan pada pekerjaan rumah untuk memastikan ketersediaan energi tetap terjangkau bagi masyarakat. Karena bagaimanapun, Pertalite masih menjadi “penopang utama” mobilitas masyarakat kelas menengah ke bawah.(*/edi)