Mayoritas Warga Indonesia Belum Miliki Jaminan Pendapatan di Hari Tua
Ilustrasi pensiun. Banyak pensiunan masih mengandalkan sokongan keluarga untuk kebutuhan sehari-hari. SHUTTERSTOCK--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti lemahnya jaminan pendapatan masyarakat Indonesia di masa pensiun. Kondisi tersebut tergambar dari rendahnya tingkat kepesertaan program dana pensiun serta kecilnya persentase pendapatan pengganti atau replacement ratio yang diterima pekerja setelah memasuki usia pensiun.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, memaparkan bahwa replacement ratio nasional baru berada pada kisaran 10–15 persen, jauh di bawah standar minimum yang direkomendasikan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), yaitu 40 persen. Artinya, sebagian besar masyarakat Indonesia belum memiliki perlindungan pendapatan yang memadai untuk menopang kehidupan di masa tua.
Sebagai ilustrasi, pekerja dengan penghasilan Rp10 juta per bulan sebelum pensiun, idealnya masih memperoleh manfaat pensiun sebesar Rp4 juta per bulan. Namun, dalam kenyataan, sebagian besar hanya menerima sepersepuluh hingga seperenam dari jumlah tersebut. Situasi ini mencerminkan adanya celah perlindungan sosial yang besar, terutama bagi pekerja informal dan sektor swasta non-pemerintah yang belum sepenuhnya terliputi program pensiun.
Data OJK menunjukkan bahwa hingga akhir 2024, total aset dana pensiun Indonesia baru mencapai Rp1.509,9 triliun atau sekitar 6,8 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah menargetkan peningkatan hingga 8 persen terhadap PDB pada tahun 2025. Meskipun meningkat, angka tersebut masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara anggota OECD. Malaysia, misalnya, telah mencapai rasio aset dana pensiun sekitar 60 persen terhadap PDB, sementara Singapura dan Korea Selatan berada di atas 40 persen.
Kesenjangan ini berkorelasi langsung dengan rendahnya tingkat kepesertaan program pensiun. Dari 144,6 juta angkatan kerja nasional, hanya 23,6 juta pekerja yang terdaftar sebagai peserta program pensiun wajib hingga 2024. Artinya, sebagian besar pekerja, terutama di sektor informal, belum memiliki akses terhadap instrumen perlindungan hari tua yang layak.
OJK menilai kondisi tersebut sebagai tantangan serius dalam upaya memperkuat ketahanan keuangan nasional di masa mendatang. Tanpa dukungan kebijakan yang kuat, masyarakat berisiko menghadapi kemiskinan struktural setelah tidak lagi produktif. Oleh karena itu, reformasi sistem pensiun nasional menjadi agenda penting yang saat ini tengah digulirkan oleh pemerintah bersama OJK dan pemangku kepentingan terkait.
Melalui kerangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah menargetkan rasio aset dana pensiun terhadap PDB dapat meningkat menjadi 11,2 persen pada 2029 dan 20,4 persen pada 2045. Target tersebut diharapkan dapat tercapai melalui integrasi sistem pensiun lintas lembaga, perluasan cakupan peserta, serta penerapan kebijakan insentif fiskal bagi pekerja dan pemberi kerja.
OJK juga mendorong kolaborasi strategis antara pemerintah, pelaku industri, dan lembaga keuangan dalam memperluas penetrasi program pensiun. Penguatan literasi keuangan menjadi salah satu prioritas, mengingat banyak pekerja muda yang belum menyadari pentingnya menyiapkan dana pensiun sejak dini.
Selain memperkuat instrumen wajib, OJK juga menekankan pentingnya pengembangan dana pensiun sukarela, yang dapat menjadi alternatif bagi pekerja mandiri dan sektor informal. Penguatan tata kelola, transparansi investasi, serta inovasi produk juga menjadi fokus agar masyarakat lebih percaya untuk berpartisipasi dalam program jaminan hari tua.
Di tengah kondisi perekonomian yang masih berfluktuasi, OJK mengingatkan bahwa jaminan pendapatan di hari tua merupakan pilar penting kesejahteraan nasional. Kemandirian finansial lansia bukan hanya soal perlindungan individu, tetapi juga berperan menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang.
Pemerintah dan OJK optimistis, dengan langkah konsisten dan dukungan lintas sektor, sistem pensiun nasional dapat tumbuh menjadi lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya mencapai pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan bahwa hasil pembangunan dapat dirasakan hingga masa senja kehidupan setiap warga negara.(*/edi)