Ironi Negeri Agraris, 50 Persen Warga Belum Mampu Akses Makanan Bergizi

Ilustrasi program MBG. Media Indonesia--

RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO — Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas menyoroti kesenjangan akses terhadap makanan bergizi di Indonesia yang masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil kajian terbaru, sekitar 40 hingga 50 persen masyarakat Indonesia belum mampu mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang akibat harga yang lebih mahal dibandingkan dengan pola makan bergizi cukup.

Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas, Mohamad Rahmat Mulianda, menjelaskan bahwa hasil studi menunjukkan biaya penerapan pola makan bergizi seimbang sekitar 66 persen lebih mahal dibandingkan pola makan bergizi cukup. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat berpendapatan rendah harus berkompromi dengan kualitas gizi dalam keseharian mereka.

Menurut Bappenas, fenomena ini tidak semata-mata berkaitan dengan ketersediaan pangan nasional, melainkan juga menyangkut aksesibilitas dan keterjangkauan harga. Ketimpangan daya beli dan distribusi pangan menjadi faktor utama yang menghambat masyarakat, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), untuk memperoleh bahan pangan bergizi dengan harga terjangkau.

Kondisi tersebut menjadi ironi bagi Indonesia, yang dikenal sebagai negara agraris dan terletak di kawasan tropis dengan potensi produksi pangan melimpah. Potensi tersebut seharusnya mampu menjamin ketersediaan pangan bergizi dan memperkuat ketahanan gizi nasional. Namun, kenyataannya sebagian masyarakat masih menghadapi kerentanan pangan akibat ketidakseimbangan antara produksi, distribusi, dan daya beli.

Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah melalui Bappenas menyiapkan strategi nasional ketahanan pangan yang berfokus pada penguatan kebijakan lintas sektor. Strategi tersebut mencakup peningkatan produksi pangan lokal, diversifikasi konsumsi, optimalisasi distribusi, serta pemberian insentif bagi pelaku usaha di sektor pangan.

Salah satu fokus kebijakan adalah diversifikasi pangan lokal, yang mendorong pemanfaatan sumber gizi dari hasil pertanian dan kelautan domestik. Pemerintah menilai bahwa pangan lokal memiliki peran strategis, bukan hanya sebagai sumber gizi, tetapi juga sebagai penopang kemandirian ekonomi masyarakat di tingkat akar rumput.

Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, Bappenas juga menekankan pentingnya peningkatan konsumsi protein hewani dan nabati yang bersumber dari bahan lokal, termasuk hasil laut atau blue food, yang memiliki kandungan protein tinggi dan berpotensi mendukung ketahanan gizi nasional.

Bappenas menilai bahwa tantangan utama ke depan adalah membangun sistem pangan yang inklusif, di mana masyarakat dari berbagai lapisan sosial dapat mengakses makanan bergizi tanpa terkendala harga. Hal ini memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha, akademisi, serta masyarakat sipil dalam menciptakan ekosistem pangan yang adil dan berkelanjutan.

Pemerintah berharap, dengan adanya perencanaan strategis dan kebijakan berbasis bukti ilmiah, Indonesia dapat mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya dalam hal penghapusan kelaparan dan peningkatan gizi masyarakat (SDG 2: Zero Hunger).

Kementerian PPN/Bappenas menegaskan bahwa upaya memperkuat ketahanan pangan tidak dapat berhenti pada peningkatan produksi saja, tetapi juga harus menyentuh dimensi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Dengan demikian, pangan lokal dapat menjadi pilar kemandirian bangsa dalam mewujudkan ketahanan pangan dan gizi yang berkeadilan di seluruh wilayah Indonesia.(*/edi)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan