Gaza Terbaru: Israel, Hamas, dan Peluang Perdamaian Global
Jurnalis Palestina Saleh Aljafarawi Tewas Saat Meliput Bentrokan di Gaza--
RADARLAMBARBACAKORAN.CO–Serangan udara Israel ke Jalur Gaza pada akhir Oktober 2025 menandai eskalasi terbaru dalam konflik panjang antara Israel dan Hamas. Perintah peluncuran serangan besar-besaran oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyoroti rapuhnya upaya perdamaian yang tengah diupayakan oleh Amerika Serikat.
Klaim Israel terkait pemalsuan penyerahan jenazah sandera berbeda dengan pernyataan Komite Internasional Palang Merah yang menegaskan proses berlangsung atas dasar permintaan resmi dan itikad baik. Perbedaan ini bukan sekadar persaingan narasi, tetapi bagian dari usaha masing-masing pihak mempertahankan legitimasi moralnya.
Sejak awal Oktober 2023, lebih dari 68.000 warga Gaza dan sekitar 1.200 warga Israel menjadi korban konflik, mencerminkan kegagalan diplomasi internasional dalam mencegah kekerasan yang berulang. Kondisi ini memperlihatkan lemahnya konsep negative peace, yaitu perdamaian yang hanya menghentikan kekerasan tanpa menyelesaikan akar masalah seperti blokade dan ketidakadilan struktural.
Gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat menciptakan ketenangan sementara, tetapi tanpa mekanisme pengawasan yang kuat dan netral, perdamaian mudah terganggu. Konsep “peace without structure” ini menekankan bahwa perdamaian tanpa sistem penegakan dan kepercayaan bersama tetap rapuh.
Israel dan Hamas terjebak dalam logika security dilemma, di mana langkah pertahanan satu pihak dianggap ancaman oleh pihak lain. Kehadiran pasukan penjaga perdamaian independen menjadi penting untuk memutus siklus balas dendam dan salah tafsir.
Salah satu inisiatif gencatan senjata di Mesir adalah pembentukan International Stabilization Force (ISF), yang berperan sebagai pengawas batas demarkasi sekaligus mediator yang memastikan komitmen kedua belah pihak dilaksanakan secara nyata. Indonesia, dengan pengalaman panjang dalam misi perdamaian internasional, memiliki kapasitas moral dan operasional untuk menjadi pelopor ISF melalui pengiriman 20 ribu pasukan perdamaian.
Pembentukan ISF disarankan di luar struktur PBB yang sering terhambat veto Dewan Keamanan. Mekanisme baru yang melibatkan negara netral dan kredibel, termasuk kolaborasi antara Indonesia, Arab Saudi, Turki, Perancis, China, dan Amerika Serikat, menjadi model hybrid peacekeeping coalition yang menggabungkan moralitas kemanusiaan dan kekuatan politik global.