Kasus Penembakan Siswa SMK di Semarang: Bagaimana Aturan Penggunaan Senjata Api oleh Polisi?

Jumat 29 Nov 2024 - 16:37 WIB
Reporter : Mujitahidin
Editor : Mujitahidin

Radarlambar.bacakoran.co - Kabar duka datang dari Semarang, Jawa Tengah, dimana seorang siswa SMK berinisial GRO (16) meninggal dunia setelah ditembak oleh anggota Polrestabes Semarang pada Minggu dini hari, 24 November 2024. Penembakan ini terjadi saat polisi mengklaim berusaha membubarkan aksi tawuran, namun pernyataan ini bertolak belakang dengan keterangan seorang satpam yang menyatakan tidak ada tawuran di lokasi tersebut. Insiden tragis ini hanya terjadi dua hari setelah kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan, Sumatera Barat. Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana sebenarnya aturan penggunaan senjata api oleh polisi?


Aturan Penggunaan Senjata Api oleh Polisi
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Yusuf Warsyim mengatakan pihaknya tengah mendalami kasus ini. Menurutnya, Kompolnas meminta klarifikasi resmi dari Polda Jawa Tengah untuk memastikan apakah penembakan tersebut sesuai dengan prosedur yang ada. Bahkan pihaknya akan memeriksa apakah prosedur yang berlaku telah diikuti.


Aturan penggunaan senjata api di Indonesia diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkapolri) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Dalam peraturan ini, terdapat enam tahapan penggunaan kekuatan yang harus dipatuhi oleh aparat. Salah satu tahap terakhir adalah penggunaan senjata api, yang hanya dibenarkan dalam situasi ekstrem, seperti ketika pelaku kejahatan mengancam keselamatan jiwa atau menimbulkan kerusakan parah.


Pada Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009, penggunaan senjata api oleh polisi lebih dijelaskan. Senjata api hanya diperbolehkan dalam keadaan terpaksa untuk melindungi nyawa, mencegah kejahatan serius, atau menahan seseorang yang membahayakan jiwa. Sebelum menembak polisi wajib memberikan tembakan peringatan jika situasinya memungkinkan. Tapi ketika dalam keadaan darurat dan mengancam jiwa, tembakan peringatan bisa diabaikan.


Prosedur Penggunaan Senjata Api
Menurut prosedur yang ada, polisi hanya boleh menggunakan senjata api jika cara lain untuk mengendalikan situasi sudah tidak memadai. Sebelum menggunakan senjata api, polisi harus mencoba tindakan yang lebih lunak, seperti memberikan peringatan verbal atau menggunakan senjata tumpul. Hanya setelah semua langkah tersebut gagal, polisi dapat melanjutkan dengan penggunaan senjata api, dan itu pun hanya untuk menanggulangi ancaman yang bersifat mematikan atau sangat merusak.


Dalam hal penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur, anggota kepolisian bisa mendapatkan sanksi yang serius. Menurut Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009, jika tindakan polisi bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, mereka bisa dikenai sanksi disiplin atau pidana. Sanksi disiplin bisa berupa teguran tertulis, mutasi jabatan, atau bahkan pemberhentian tidak hormat. Selain itu, jika penembakan tersebut menyebabkan kematian, polisi bisa diancam dengan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni Pasal 338 (pembunuhan) atau Pasal 340 (pembunuhan berencana).


Pengawasan dan Perizinan Senjata Api
Polisi yang berwenang menggunakan senjata api harus memenuhi sejumlah persyaratan, baik dari sisi kesehatan maupun kelayakan psikologis. Berdasarkan Peraturan Polri Nomor 1 Tahun 2022, anggota Polri harus memiliki surat rekomendasi atasan, lulus tes psikologi, dan surat keterangan sehat untuk memperoleh izin menggunakan senjata api. Sementara untuk penggunaan senjata api nonorganik, seperti oleh anggota satpam atau PPNS, ada persyaratan tambahan, seperti usia minimal 20 tahun dan pemahaman terhadap peraturan senjata api.


Implikasi Hukum
Dalam kasus penembakan siswa SMK di Semarang, jika terbukti bahwa penembakan tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, anggota polisi yang terlibat bisa dikenakan sanksi disiplin hingga pidana. Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan bahwa polisi yang melakukan penembakan yang menyebabkan kematian dapat dijerat dengan Pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara. Jika penembakan dilakukan secara terencana, maka pelaku bisa dikenakan ancaman pidana lebih berat, bahkan hukuman mati.


Insiden ini menjadi pengingat penting tentang pentingnya pengawasan terhadap penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian. Meskipun polisi diberi wewenang untuk melindungi masyarakat, aturan yang ketat harus selalu diterapkan agar kekuasaan tidak disalahgunakan dan untuk memastikan bahwa tindakan aparat selalu sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.(*)

Kategori :