Kue Lapan Jam Cita Rasa Legendaris dari Palembang

Kue Lapan Jam merupakan kue khas yang Legit dari Palembang. Foto ; Net.--

RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Palembang selama ini identik dengan pempek, kuliner berbahan dasar ikan yang gurih dan kenyal. Namun, di balik popularitasnya, kota ini juga menyimpan kekayaan kuliner manis yang tidak kalah menggoda. Salah satunya adalah Kue Lapan Jam, penganan tradisional yang terkenal dengan rasa legitnya dan filosofi kehidupan yang begitu dalam.

Nama kue ini bukan sekadar penanda waktu. “Lapan Jam” memiliki arti tersendiri bagi masyarakat Palembang. Selain menggambarkan lamanya proses memasak yang mencapai delapan jam, angka tersebut juga mengandung makna filosofis. Dalam tradisi masyarakat setempat, delapan jam melambangkan pembagian waktu hidup manusia dalam satu hari delapan jam untuk bekerja, delapan jam untuk beribadah, dan delapan jam untuk beristirahat.

Pembagian itu menjadi pengingat agar kehidupan dijalani secara seimbang. Lebih dari itu, angka delapan juga dikaitkan dengan jumlah orang yang mengangkat keranda jenazah, simbol bahwa setiap manusia pada akhirnya akan kembali kepada Sang Pencipta, sehingga sepatutnya senantiasa mempersiapkan diri dengan amal baik.

Pada masa lalu, Kue Lapan Jam bukanlah makanan yang bisa dinikmati semua kalangan. Kudapan ini merupakan hidangan istimewa yang disajikan di lingkungan bangsawan Palembang. Alasannya, bahan-bahan pembuat kue ini termasuk mewah pada zamannya. Telur, mentega, susu kental manis, dan gula tidak mudah diperoleh oleh masyarakat biasa, sehingga kue ini menjadi simbol kemewahan dan kehormatan.

Seiring waktu, bahan-bahan tersebut semakin mudah ditemukan, dan Kue Lapan Jam pun kini bisa dinikmati oleh masyarakat dari berbagai lapisan. Biasanya, kue ini hadir di meja tamu saat momen-momen penting seperti Hari Raya Idulfitri, Imlek, atau acara keluarga besar.

Membuat Kue Lapan Jam membutuhkan kesabaran luar biasa. Bahan-bahan utamanya terdiri dari telur ayam, gula pasir, tepung terigu, mentega, vanili, serta susu kental manis. Semua bahan diaduk hingga merata, kemudian dimasukkan ke dalam loyang dan dikukus selama delapan jam penuh tanpa henti. Proses panjang itu bukan tanpa alasan.

Selama pengukusan, gula secara perlahan berubah menjadi karamel, sedangkan telur dan mentega memadat, menghasilkan tekstur lembut yang berpadu dengan rasa manis legit khas Palembang. Rahasia kelezatan kue ini justru terletak pada lamanya proses memasak. Bila dikukus kurang dari delapan jam, tekstur kue menjadi rapuh dan rasanya tidak seimbang. Sebaliknya, jika waktu pengukusan dilakukan sesuai tradisi, hasilnya begitu memuaskan kue berwarna cokelat keemasan dengan tekstur padat namun lembut, cita rasa manis yang tidak berlebihan, dan aroma harum yang menggugah selera.

Semua proses tersebut menjadikan Kue Lapan Jam bukan sekadar penganan, melainkan bentuk karya kuliner yang lahir dari ketekunan dan dedikasi. Dalam tradisi Palembang, kue ini biasanya disajikan dalam bentuk utuh. Ketika tamu datang, barulah kue dipotong tipis dan disajikan di piring kecil. Potongan tipis tersebut menjadi ciri khas penyajiannya, karena diyakini menjaga keseimbangan rasa manis agar tidak berlebihan.

Kue Lapan Jam paling nikmat disantap bersama teh hangat atau kopi hitam, terutama pada sore hari ketika udara mulai teduh. Popularitas kue ini semakin menguat setelah pemerintah menetapkannya sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2015. Pengakuan tersebut diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai bentuk apresiasi terhadap kekayaan kuliner tradisional dari Provinsi Sumatera Selatan. 

Penetapan itu juga menjadi dorongan agar masyarakat terus melestarikan resep dan tradisi pembuatannya agar tidak punah digerus zaman. Keistimewaan Kue Lapan Jam tidak hanya terletak pada cita rasanya yang manis dan lembut, tetapi juga pada makna filosofis yang menyertainya. Setiap lapisan rasa mengandung pesan kehidupan: kesabaran dalam proses, ketekunan dalam berusaha, dan kesadaran bahwa setiap perjalanan hidup memiliki batas waktu.

Filosofi tersebut sejalan dengan karakter masyarakat Palembang yang dikenal religius, teguh dalam tradisi, namun tetap terbuka terhadap perkembangan zaman. Kini, meski kuliner modern semakin beragam, Kue Lapan Jam tetap mempertahankan tempatnya di hati masyarakat. Banyak penjual yang mulai berinovasi, menyesuaikan bentuk dan kemasan agar lebih menarik tanpa mengubah rasa aslinya.

Dari meja bangsawan tempo dulu hingga dapur masyarakat masa kini, Kue Lapan Jam telah melewati perjalanan panjang sebagai simbol kelezatan dan kebijaksanaan hidup. Kue ini bukan sekadar penganan manis untuk dinikmati, melainkan warisan budaya yang mengajarkan makna mendalam tentang kesabaran dan penghargaan terhadap waktu. Di setiap potongan kue yang lembut, tersimpan nilai-nilai kehidupan yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Palembang bahwa sesuatu yang dilakukan dengan penuh ketulusan dan kesabaran akan selalu berbuah manis, seperti rasa legit dari Kue Lapan Jam itu sendiri.(yayan/*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan