Radarlambar.Bacakoran.co - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali memicu ketegangan perdagangan global dengan kebijakan tarif bea masuk (BM) impor yang agresif. Tidak hanya menyasar China, Kanada, dan Meksiko, kebijakan ini diperkirakan akan meluas hingga ke negara-negara Eropa, memicu eskalasi Perang Dagang Jilid II.
Jika kebijakan ini diberlakukan, dolar AS diprediksi akan menguat, diikuti dengan kenaikan imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun. Konsekuensinya, aliran dana investasi dari pasar negara berkembang ke AS akan meningkat, sementara negara-negara berkembang justru berisiko mengalami tekanan ekonomi yang lebih besar. Pasar saham, obligasi, hingga nilai tukar mata uang negara-negara berkembang diprediksi akan melemah.
Dampak bagi Indonesia
Bagi Indonesia, kebijakan proteksionisme Trump dapat memperburuk situasi ekonomi. Nilai tukar rupiah berpotensi melemah, dan volatilitas pasar saham masih akan tinggi sepanjang semester pertama tahun ini. Investor pun diperkirakan akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi.
Menurut Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, kebijakan proteksionis ini dapat memperparah fragmentasi perdagangan global. "Perang dagang ini berpotensi memperburuk kondisi ekonomi global, terutama bagi negara-negara yang bergantung pada ekspor," ujar Nafan, Minggu 2 Februari 2025 kemarin.
Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan melambat hingga di bawah rata-rata, berkisar 2,7-3,1% selama periode 2025-2026. Selain dampak perang dagang, dinamika geopolitik dan tantangan perubahan iklim juga menjadi faktor yang perlu diwaspadai.
Nafan menambahkan bahwa meningkatnya ketegangan geopolitik serta tekanan inflasi yang terus berlanjut dapat menyebabkan stagnasi ekonomi, bahkan berpotensi menjerumuskan dunia ke dalam resesi jika tidak ditangani dengan kebijakan yang tepat. Oleh karena itu, peran forum multilateral dalam meredakan ketegangan perdagangan dan geopolitik menjadi sangat penting.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, menyebut bahwa kebijakan ekonomi AS kini semakin digunakan sebagai alat geopolitik. "Kita akan melihat bahwa kebijakan ekonomi semakin digunakan sebagai senjata atau weaponisasi. Posisi geopolitik AS akan menjadi lebih dominan," ujarnya.