Radarlambar.bacakoran.co -Seiring dengan kebijakan-kebijakan yang diterapkan dalam pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) semakin sering terlihat berperan sebagai juru bicara pemerintah, terutama ketika kebijakan-kebijakan strategis pemerintah menuai protes dari masyarakat. Terkadang, anggota DPR, khususnya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, ikut turun tangan memberikan penjelasan terkait kebijakan-kebijakan yang diambil, meskipun seharusnya menteri-menteri atau juru bicara pemerintah yang bertanggung jawab untuk hal tersebut.
Kebijakan Larangan Penjualan LPG 3 Kg: Konflik yang Mengundang Penjelasan
Salah satu kebijakan yang baru-baru ini menimbulkan perdebatan adalah larangan pengecer untuk menjual gas elpiji atau LPG 3 kilogram (kg) per 1 Februari 2025. Kebijakan ini awalnya mendapat protes dari berbagai pihak yang merasa terbebani. Namun, dalam beberapa kesempatan, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad justru tampil di depan publik untuk menjelaskan keputusan pemerintah terkait kebijakan tersebut.
Dasco mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo tidak semata-mata mengeluarkan kebijakan tersebut, tetapi setelah protes muncul, Presiden akhirnya memberikan instruksi agar pengecer dapat kembali berjualan LPG 3 kg, meskipun dengan ketentuan mereka harus menjadi sub pangkalan. Menurut Dasco, kebijakan ini dimaksudkan untuk mengatur agar harga LPG tetap terjangkau di masyarakat dengan penertiban yang lebih efisien.
DPR dan Peranannya dalam Kebijakan Fiskal
Peran DPR dalam memberikan penjelasan terhadap kebijakan juga terlihat dalam isu lainnya, yaitu kebijakan efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD 2025. Pada Januari 2025, Presiden Prabowo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2025 tentang efisiensi belanja negara. Kebijakan ini langsung disambut baik oleh Ketua DPR Puan Maharani yang memberikan dukungan penuh terhadap upaya pemerintah untuk mengelola anggaran dengan lebih efisien demi kesejahteraan rakyat.
DPR juga memberikan dukungannya terkait kebijakan PPN 12% yang diterapkan pada barang-barang mewah. Meskipun kebijakan tersebut sempat menuai kontroversi, DPR, khususnya Ketua Badan Anggaran (Banggar) Said Abdullah, menyatakan bahwa seluruh fraksi di DPR setuju dengan penerapan PPN tersebut, meskipun dengan beberapa catatan.
PPN 12%: Pendapatan Negara atau Beban Ekonomi?
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga memberikan komentarnya terkait kebijakan PPN 12% yang diberlakukan pada barang mewah. Menurut perhitungannya, jika PPN 12% diterapkan pada semua barang dan jasa, pendapatan pemerintah untuk APBN 2025 bisa mencapai Rp75 triliun. Namun, karena PPN 12% hanya diterapkan pada barang dan jasa mewah tertentu, pendapatan yang diperoleh diperkirakan hanya sekitar Rp3,2 triliun. Meskipun demikian, Dasco memberikan apresiasi kepada pemerintah yang memilih untuk lebih mengedepankan kepentingan rakyat kecil dalam kebijakan perpajakan ini.
Peran DPR dalam Menjaga Keseimbangan Kebijakan
Penting untuk dicatat bahwa dalam berbagai kebijakan tersebut, DPR tampaknya lebih sering tampil sebagai pihak yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menjelaskan kebijakan-kebijakan yang ada. Tentu, ini memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana tanggung jawab DPR dalam memberikan penjelasan kepada publik. Apakah ini merupakan langkah untuk menjaga citra pemerintah atau strategi untuk mengurangi beban tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh para menteri dan juru bicara pemerintah?
Dalam konteks ini, peran DPR bisa dilihat sebagai suatu bentuk sinergi antara eksekutif dan legislatif untuk menciptakan pemahaman bersama tentang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Namun, jika hal ini berlarut-larut, kita mungkin perlu mempertanyakan apakah peran tersebut benar-benar sesuai dengan fungsi dan tugas pokok DPR sebagai lembaga legislatif atau hanya sekadar menjadi juru bicara pemerintah.
Kategori :