Radarlambar.Bacakoran - Di Desa Beji, Kecamatan Tulung, Klaten, Jawa Tengah, terdapat sebuah masjid bersejarah yang menjadi saksi perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda. Masjid tersebut bernama Masjid Al Munawaroh, yang dibangun pada tahun 1833.
Masjid Al Munawaroh diyakini menjadi tempat peristirahatan sekaligus lokasi ibadah Pangeran Diponegoro selama masa perlawanan terhadap kolonial Belanda. Bangunan ini memiliki arsitektur unik dengan empat tiang penyangga utama yang terbuat dari kayu jati. Di setiap tiang tersebut terdapat rak kecil yang digunakan untuk menyimpan Al-Qur'an.
Ciri khas lainnya dari masjid ini adalah pagar besi berwarna hijau yang mengelilingi bangunan dan masih terjaga keasliannya hingga kini. Desain Masjid Al Munawaroh memiliki kemiripan dengan masjid di lingkungan Keraton Yogyakarta, mencerminkan pengaruh budaya dan sejarah yang kuat.
Menurut Muh Sonhaji, pengurus Masjid Al Munawaroh, bangunan ini mengalami pemugaran pada tahun 1403 Hijriah atau 1982 Masehi. Meski telah dipugar, bentuk asli masjid tetap dipertahankan, termasuk tiang kayu jati dan lantai ubin yang masih terjaga keasliannya.
"Pemugaran tidak mengubah bentuk asli masjid. Tiang dan ubin tetap seperti dahulu," jelas Muh Sonhaji.
Ia juga menceritakan kisah luar biasa di balik keutuhan masjid ini. Pada era Gerakan 30 September (G30S/PKI), masjid sempat dibakar, tetapi api tidak merusaknya. Upaya merobohkan tiang-tiang masjid pun gagal.
"Saat saya berusia 12 tahun, masjid ini pernah dibakar, tetapi tidak mempan. Bahkan, saat mereka mencoba merobohkan tiang-tiangnya, tiang-tiang itu tetap berdiri kokoh," kenangnya.
Masjid Al Munawaroh pertama kali dirawat oleh Kiai Abdul Jabar, seorang pengikut setia Pangeran Diponegoro dari Keraton Yogyakarta. Sejak masa itu hingga kini, masjid ini menjadi simbol perjuangan dan pengingat akan semangat melawan penjajahan.