Radarlambar.bacakoran.co- China dalam beberapa dekade terakhir telah mencuri perhatian dunia karena keberhasilannya dalam membangun kekuatan ekonomi dan teknologi yang tangguh.
Negara ini melesat cepat, menyaingi negara-negara besar lain berkat industrialisasi masif, kebijakan terbuka terhadap investasi, dan strategi pertumbuhan ekonomi yang terarah.
Namun, keberhasilan ini bukan muncul tiba-tiba. Transformasi besar China berakar dari keputusan penting yang diambil Deng Xiaoping pada akhir 1970-an. Ia menjadi tokoh sentral dalam peralihan arah ekonomi dari sistem tertutup dan kaku ke pendekatan yang lebih terbuka terhadap pasar.
Sebelum masa Deng, China dipimpin oleh Mao Zedong yang menerapkan sistem ekonomi sosialis total. Upaya Mao untuk mengubah struktur ekonomi melalui industrialisasi berat justru berujung pada kegagalan besar. Kebijakan tersebut menyebabkan kesenjangan produksi, kelangkaan pangan, bahkan jutaan rakyat menjadi korban kelaparan dan represi politik.
Deng Xiaoping, yang juga merupakan kader Partai Komunis China, menyadari bahwa pendekatan yang dijalankan sebelumnya menghambat potensi pembangunan. Ketika ia mulai memegang kendali kebijakan pada 1979, Deng memperkenalkan konsep yang saat itu terbilang revolusioner: keterbukaan ekonomi.
Langkah awalnya adalah memberi keleluasaan kepada petani untuk menentukan jenis tanaman yang akan ditanam. Dengan kebijakan ini, produksi pangan meningkat dan krisis kelaparan mulai teratasi.
Langkah berikutnya adalah membuka jalur bagi modal asing. Pemerintah China merancang kawasan ekonomi khusus yang memberi keleluasaan kepada investor untuk mengembangkan industri. Wilayah seperti Shenzhen menjadi titik awal bagi masuknya investasi dan teknologi dari luar, yang kemudian menular ke berbagai daerah lainnya.
Reformasi tersebut berdampak besar. Tingkat pengangguran menurun karena lapangan kerja bertambah. Pertumbuhan ekonomi pun melonjak drastis, dari angka moderat menjadi dua digit dalam waktu singkat. Keberhasilan ini menunjukkan efektivitas dari strategi Deng, yang mampu menyeimbangkan antara prinsip ideologi dan kebutuhan pragmatis ekonomi.
Pada awal 1990-an, China juga mulai mengembangkan sektor pasar modal dengan mendirikan bursa saham. Langkah ini mempertegas bahwa negara tersebut siap terlibat aktif dalam ekonomi global, tanpa sepenuhnya melepaskan prinsip politik sosialis yang dianut.
Deng sendiri tidak pernah menyebut kebijakan yang ia terapkan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap ideologi komunisme. Ia justru menyebut pendekatannya sebagai “sosialisme dengan karakteristik China,” sebuah prinsip yang memadukan semangat kolektif dengan mekanisme ekonomi yang fleksibel.
Warisan pemikiran Deng Xiaoping menjadi pondasi bagi para pemimpin berikutnya. Jiang Zemin, Hu Jintao, hingga Xi Jinping tetap mempertahankan garis kebijakan reformasi tersebut dengan menyesuaikan tantangan zaman. Kini, China berdiri sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, dan semua itu berawal dari keberanian untuk mengubah pendekatan tanpa kehilangan identitas nasionalnya.(*)