Radarlambar.bacakoran.co - Meski permintaan baja domestik melemah akibat krisis sektor properti, China tetap mencatatkan rekor baru dalam jumlah impor bijih besi sepanjang 2025. Negeri Tirai Bambu diperkirakan akan mengimpor antara 10 juta hingga 40 juta metrik ton tambahan, sehingga total pasokan bijih besi nasional mencapai 1,27 miliar ton tahun ini. Jumlah itu melampaui prediksi awal para analis pasar komoditas.
Peningkatan volume impor tersebut didorong oleh agresifnya ekspor dari dua negara pemasok utama, yakni Australia dan Brazil. Para eksportir global dikabarkan tengah mempercepat pengiriman bijih besi ke China sebelum proyek raksasa Simandou di Afrika Barat mulai beroperasi pada akhir tahun ini.
Proyek Simandou yang digagas oleh perusahaan tambang multinasional Rio Tinto diyakini akan membanjiri pasar global dengan bijih besi berkualitas tinggi. Antisipasi terhadap masuknya pasokan baru ini mendorong para eksportir lama untuk melepas persediaan mereka lebih cepat, demi menghindari tekanan harga di pasar global.
Konsultan UBS melalui Kepala Pertambangan EMEA-nya, Myles Allsop, menyebut harga bijih besi pada 2025 diperkirakan akan bertahan di kisaran US$95 hingga US$100 per ton. Namun, pada 2026 dan 2027, pasar diperkirakan akan mengalami surplus yang lebih besar sehingga harga berpotensi menurun ke titik bawah dari kurva biaya produksi.
Saat ini, stok bijih besi di pelabuhan-pelabuhan China sudah meningkat tajam. Berdasarkan data hingga 27 Desember 2024, stok mencapai 146,85 juta ton atau naik 28,3 persen dibanding tahun sebelumnya. Dengan tambahan pasokan tahun ini, angka itu diperkirakan akan naik hingga 170 juta ton.
Ironisnya, rekor impor ini terjadi di tengah lesunya konsumsi baja domestik. Lembaga Penelitian dan Perencanaan Industri Metalurgi Tiongkok (MPI) memproyeksikan permintaan baja di dalam negeri akan menurun 4,4 persen sepanjang 2024 dan kembali turun sekitar 1,5 persen pada 2025.
Produksi baja mentah China sendiri tercatat mengalami penurunan 2,7 persen selama 11 bulan pertama 2024, sementara impor bijih besi justru naik 4,3 persen menjadi 1,124 miliar ton. Ini menunjukkan adanya ketimpangan antara pasokan dan permintaan di sektor logam dasar, yang dipicu oleh stagnasi di sektor properti yang selama ini menjadi penyerap utama baja konstruksi.
Meski sektor manufaktur dan ekspor baja menunjukkan ketahanan, keduanya dinilai belum mampu menutup kekurangan permintaan dari sektor properti. Pemerintah China telah meluncurkan berbagai stimulus ekonomi guna mendongkrak konsumsi, termasuk insentif bagi sektor otomotif dan barang elektronik rumah tangga, yang menjadi pengguna utama baja lapis kedua.
Namun, kalangan analis menyatakan bahwa langkah stimulus tersebut belum cukup kuat untuk menahan dampak perlambatan di sektor real estat, yang struktur masalahnya lebih kompleks dan memerlukan waktu panjang untuk pemulihan.
Dengan ketidakseimbangan yang terjadi antara lonjakan impor bijih besi dan lemahnya serapan baja domestik, muncul kekhawatiran bahwa kelebihan pasokan ini dapat memicu koreksi harga di pasar global, sekaligus menimbulkan tekanan pada pelaku industri logam di China sendiri. Meskipun stok meningkat, potensi perlambatan produksi ke depan juga mulai diperhitungkan oleh banyak produsen.(*/edi)