Kebudayaan Arkipelagis dan Gagasan Yogyakarta Renaisans: Refleksi atas Pemajuan Budaya Nusantara

Sabtu 31 May 2025 - 17:55 WIB
Reporter : Nopriadi
Editor : Nopriadi

 

Edward Said menunjukkan bahwa budaya Timur, termasuk Indonesia, kerap dipandang secara bias dari perspektif luar, yang berisiko mengaburkan nilai-nilai asli. Hal ini kerap terjadi ketika kebudayaan dijadikan komoditas demi kepentingan ekonomi dan pariwisata.

 

Lewis Mumford dalam kajiannya mengenai kota, menekankan pentingnya kota sebagai pusat kebudayaan. Namun di Indonesia, banyak ruang publik di kota telah dikomersialkan, menggeser fungsi budaya menjadi fungsi ekonomi semata.

 

Demokrasi, Kebebasan, dan Pemajuan Budaya

 

Hilmar Farid menekankan bahwa pemajuan kebudayaan membutuhkan demokrasi yang inklusif. Demokrasi semacam ini harus mampu memberikan tempat bagi seluruh ekspresi budaya, tanpa terjebak pada dominasi budaya mayoritas. Dalam kenyataannya, banyak budaya lokal justru termarjinalkan.

 

Tantangan lain muncul dalam era digital, di mana kebebasan berekspresi sering dimanfaatkan untuk menyebarkan intoleransi. Padahal, kebebasan tersebut seharusnya menjadi sarana memperkuat keberagaman budaya. Hal ini menunjukkan perlunya tanggung jawab sosial dalam setiap praktik kebudayaan.

 

Dalam kaitan ini, kebudayaan arkipelagis dapat berfungsi sebagai ekosistem dialog yang inklusif, sekaligus menjadi ruang bagi inovasi. Untuk itu, diperlukan komitmen terhadap kebijakan budaya yang menempatkan nilai lokal dalam konteks global secara adil.

 

Yogyakarta Renaisans Indonesia: Gagasan Kebangkitan Budaya dari Daerah

 

Gagasan Yogyakarta Renaisans yang diperkenalkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X menawarkan pendekatan budaya sebagai landasan utama pembangunan. Yogyakarta diposisikan sebagai pusat kebangkitan nilai-nilai luhur bangsa. Ini bukan hanya mengenai pembangunan fisik atau ekonomi, tetapi menyangkut kebangkitan spiritual, moral, dan karakter bangsa.

Tags :
Kategori :

Terkait