Radarlambar.bacakoran.co – Proses negosiasi tarif perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat hingga kini belum mencapai titik final. Ketidakpastian tersebut mulai menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas kinerja ekspor nasional, yang selama ini menjadi salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi.
Situasi ini menjadi perhatian serius pemerintah, terutama di tengah upaya menjaga pertumbuhan ekspor tetap pada jalur positif. Dalam skenario yang dirancang Kementerian Keuangan, pertumbuhan ekspor harus berada di kisaran 5,4% hingga 6,4% agar target pertumbuhan ekonomi sebesar 4,7%–5% pada 2025 dapat tercapai. Angka ini bahkan harus meningkat hingga 6,5%–6,8% pada tahun berikutnya guna menopang proyeksi ekonomi sebesar 5,2%–5,8%.
Sementara itu, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia pada Mei 2025 mencapai US$24,61 miliar, atau tumbuh hampir 10% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, capaian ini dinilai belum cukup aman jika belum ada kejelasan soal tarif dagang dengan AS—pasar strategis bagi sejumlah komoditas nasional.
Di tengah ketidakpastian tersebut, Vietnam justru telah berhasil menyepakati penurunan tarif dengan AS. Negara tetangga Indonesia itu memperoleh pemangkasan tarif ekspor menjadi 20% dari sebelumnya 46%, serta disepakati tarif 40% untuk skema ekspor transshipment yang melalui wilayahnya. Sebagai imbal balik, Vietnam menghapus seluruh bea masuk atas barang impor dari Amerika Serikat.
Indonesia kini berada dalam posisi yang belum menguntungkan, karena masih menunggu keputusan akhir dari pemerintah AS. Saat ini, tarif resiprokal yang dikenakan kepada Indonesia berada pada level 32%, lebih tinggi dibandingkan Vietnam. Jika tak ada perubahan, tarif tersebut berpotensi menekan daya saing produk ekspor Indonesia.
Di Washington, delegasi Indonesia terus melakukan pendekatan intensif bersama sejumlah negara lain seperti Jepang, Uni Eropa, Malaysia, dan India. Delegasi Indonesia diketahui telah menyampaikan proposal kedua kepada pihak otoritas perdagangan AS, mencakup pembahasan dengan United States Trade Representative serta dua kementerian penting: Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan.
Pemerintah berharap, lewat negosiasi ini, Indonesia dapat memperoleh perlakuan tarif yang lebih adil. Salah satu argumen yang diajukan adalah fakta bahwa ekspor dari Indonesia tidak menggunakan sistem transshipment, yakni skema ekspor barang yang dirakit minimal dari negara ketiga untuk menghindari tarif tinggi—seperti yang diduga dilakukan oleh beberapa eksportir melalui Vietnam.
Selain itu, pemerintah menyampaikan bahwa sebagian besar barang impor dari AS ke Indonesia saat ini sudah dikenai tarif yang sangat rendah, bahkan banyak yang hanya 0% hingga 5%. Hal ini menjadi dasar bahwa pembukaan pasar di Indonesia terhadap produk Amerika telah berlangsung cukup adil dan terbuka.
Sementara itu, sejumlah analis memperkirakan bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump kemungkinan akan mengajukan syarat serupa kepada Indonesia seperti kepada Vietnam. Artinya, AS bisa menuntut pembebasan bea masuk untuk barang impornya, dan menetapkan tarif minimum 10% hingga 20% untuk ekspor langsung dari Indonesia, serta tarif 30% hingga 50% untuk ekspor berbasis transshipment.
Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam posisi tawar yang genting. Pemerintah harus cermat dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan ekspor nasional dan keterbukaan pasar domestik, agar tidak terjebak dalam kesepakatan dagang yang justru merugikan di masa depan. (*/rinto)