Potensi Energi Terbarukan di Indonesia Capai 333 Gigawatt

Ilustrasi. Salah satu sumber energi terbarukan indonesia. Foto-Net--

Radarlambar.bacakoran.co- Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan energi baru terbarukan, dengan kapasitas yang dapat mencapai hingga 333 gigawatt (GW) per tahun. Kajian terbaru dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa energi terbarukan berpotensi menjadi tulang punggung transisi energi nasional guna mencapai target net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Namun, meskipun potensinya besar, pemanfaatannya masih jauh dari optimal.

Potensi energi terbarukan ini berasal dari tiga sumber utama, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM). Dari total kapasitas 333 GW, energi angin dari PLTB daratan memiliki potensi terbesar dengan kapasitas 167 GW, diikuti oleh PLTS daratan yang dapat mencapai 165,9 GW, serta PLTM yang menyumbang 0,7 GW.

Menurut Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih belum optimal, terutama untuk PLTS dan PLTB. Padahal, potensi tersebut dapat dimanfaatkan lebih cepat dengan strategi yang lebih agresif. Tantangan utama dalam pengembangannya adalah keterbatasan pendanaan serta minimnya kepastian regulasi.

Salah satu faktor yang memperlambat pengembangan energi terbarukan adalah skema pembiayaan yang masih belum cukup menarik bagi investor. Meskipun pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, kebijakan ini belum disertai dengan peta jalan yang mengatur secara rinci langkah-langkah transisi energi. Akibatnya, banyak investor dan pelaku industri energi yang masih ragu untuk beralih ke sumber energi hijau seperti PLTS dan PLTB.

Menurut Koordinator Riset Kelompok Data dan Pemodelan IESR, Pintoko Aji, dari total potensi 333 GW, sekitar 205,9 GW atau 61 persen dapat dikembangkan secara finansial karena memiliki tingkat pengembalian investasi (Equity Internal Rate of Return/EIRR) di atas 10 persen. Namun, meskipun secara finansial layak, tanpa kepastian regulasi dan insentif yang lebih jelas, banyak proyek energi terbarukan yang masih tertunda.

Di Indonesia, potensi energi terbarukan tersebar di berbagai wilayah. Potensi minihidro paling banyak ditemukan di Sumatera, sementara potensi tenaga angin terbesar berada di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Di sisi lain, energi surya memiliki prospek menjanjikan di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Dengan sebaran ini, pengembangan energi terbarukan harus mempertimbangkan aspek geografis dan kebutuhan lokal agar implementasi proyek dapat berjalan lebih efektif.

Selain kendala finansial, keterbatasan lahan juga menjadi tantangan besar dalam pengembangan PLTS. Salah satu hambatan yang sering muncul adalah perizinan penggunaan lahan, terutama di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi atau lahan yang sudah dialokasikan untuk keperluan lain. Pemerintah diharapkan dapat memberikan regulasi yang lebih fleksibel dalam hal penggunaan lahan untuk proyek energi terbarukan.

Infrastruktur pendukung seperti jaringan transmisi juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan. Energi terbarukan sering kali berlokasi di daerah terpencil atau jauh dari pusat permintaan listrik, sehingga diperlukan investasi tambahan untuk membangun jaringan transmisi yang dapat menyalurkan listrik ke daerah yang membutuhkan. Jika tidak ada kebijakan yang jelas dalam mendukung pengembangan infrastruktur ini, maka potensi energi terbarukan yang besar bisa saja tidak termanfaatkan secara maksimal.

Ketua Pakar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Herman Darnel Ibrahim, menegaskan bahwa di tengah tantangan transisi energi yang semakin mendesak, energi surya memiliki keunggulan dibandingkan sumber energi lainnya. Dengan perkembangan teknologi yang semakin matang, PLTS kini lebih kompetitif dibandingkan dengan pembangkit berbasis nuklir maupun gas.

Dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga batu bara yang masih mendominasi sektor kelistrikan Indonesia, energi surya menawarkan biaya operasional yang lebih rendah dalam jangka panjang. Selain itu, pengembangan teknologi penyimpanan energi (battery storage) semakin memungkinkan penggunaan energi surya dalam skala yang lebih luas. Jika infrastruktur dan kebijakan yang mendukung diterapkan dengan baik, PLTS dapat menjadi solusi utama dalam mendorong transisi energi nasional.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan