Radar Lambar - Hujan yang seharusnya jadi rahmat, justru berubah jadi laknat bagi warga Mabarjaya dan Margajaya, Pekon Sukaraja, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. Jalan penghubung sepanjang beberapa kilometer itu kini laksana ular tanah—berkelok, berlubang, dan berlumpur—menggulung harapan warga yang setiap hari harus berjibaku untuk sekadar keluar rumah.
Setiap tetes hujan adalah isyarat penderitaan. Tanah merah yang semula kokoh kini menjelma lautan lumpur. Motor-motor berdecit bagai anak kecil menangis ketika roda mereka terjebak dalam lumpur yang mencengkeram kuat, tak rela dilepaskan. Truk pengangkut kopi pun seolah enggan lagi melintas, takut ditelan kubangan yang bak perangkap alam.
"Jalan ini sudah seperti luka yang tak kunjung sembuh. Setiap tahun kami hanya bisa menatap langit, berharap ada mukjizat," tutur Ahmad Satibi, Kepala Pemangku Mabarjaya, dengan mata yang tampak lelah menyimpan harapan.
Dua kilometer jalan di wilayahnya menjadi saksi bisu perjuangan warga yang saban hari harus memanggul hasil panen kopi dan sayuran melintasi jalur penuh lumpur. Anak-anak sekolah pun tak luput dari derita. Sepatu mereka acap kali berubah warna, dari putih bersih menjadi cokelat pekat, oleh lumpur yang merangkul erat.
Di Margajaya, kisah serupa terulang. Kepala Pemangku Agung Suprinto mengibaratkan jalan yang separuh pernah di-underlagh pada 2016 itu sebagai "panggung derita." Batu-batu keras yang dulu menjadi tumpuan kini lenyap, diganti lubang-lubang raksasa yang kerap membuat pengendara terjungkal.
"Separuh jalan sudah hancur, separuh lagi belum pernah tersentuh. Saat hujan, motor pun sering tersungkur. Apalagi kalau warga membawa hasil panen, sudah pasti tersiksa," ujarnya pilu.
Kerusakan jalan bukan sekadar soal infrastruktur. Ia menebar efek domino yang melumpuhkan denyut nadi ekonomi. Kopi, sayuran, dan buah-buahan hasil kebun rakyat tak bisa lancar dibawa ke pasar. Anak-anak sekolah harus menempuh jalan berliku dengan rasa waswas, dan warga sakit terpaksa ditandu jika ambulans enggan masuk ke desa.
"Kami hanya ingin jalan ini disembuhkan. Ini bukan sekadar tuntutan, tapi kebutuhan. Kalau akses lancar, ekonomi pun pasti bangkit," imbuh Satibi.
Kini, warga Mabarjaya dan Margajaya hanya bisa mengetuk pintu hati pemerintah daerah. Mereka berharap ada “tangan Tuhan” yang turun lewat kebijakan pembangunan jalan. Bagi mereka, jalan yang baik bukan soal kemewahan, tapi soal kehidupan. (*)