Korban Penipuan Kopi Gugat Polisi, Bongkar Dugaan Kejanggalan SP3

Selasa 08 Jul 2025 - 15:35 WIB
Reporter : Rinto Arius
Editor : Nopriadi

AIRHITAM – Kasus dugaan penipuan dan penggelapan uang hasil penjualan kopi Lampung Barat yang menyeret nama Ahmad Ramadan alias Adon memasuki babak baru. Para korban yang dirugikan hingga miliaran rupiah menggugat praperadilan ke Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Mereka mempertanyakan keputusan penyidik Polda Lampung yang menghentikan penyidikan lewat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Langkah hukum ini ditempuh lantaran para korban menilai penghentian kasus dilakukan secara mendadak dan terkesan tertutup. Mereka berharap, melalui praperadilan, keabsahan SP3 bisa diuji secara transparan.

“Ini soal keadilan. SP3 harus diuji di pengadilan agar jelas apakah prosesnya sudah sesuai aturan atau tidak,” tegas kuasa hukum korban, Andi Falki, Senin (8/7/2025).

Andi juga menyoroti penerapan restorative justice (RJ) yang menurutnya tidak prosedural. “RJ itu harusnya dilakukan atas dasar sukarela dan tidak dalam perkara yang meresahkan publik. Tapi dalam kasus ini, kerugian korban mencapai Rp10 miliar dan menyangkut banyak petani serta pelaku usaha kopi,” ujarnya.

Lebih jauh, Andi mengungkap dugaan kejanggalan dalam pengelolaan barang bukti dan aliran dana perkara. Dari kerugian total Rp10 miliar, hanya Rp3,72 miliar yang diamankan sebagai barang bukti. Namun, sekitar 20 persen dari jumlah itu diduga dipotong sepihak sebagai biaya jasa hukum dan administrasi.

“Korban hanya menerima sekitar Rp2,96 miliar. Pemotongan ini dilakukan tanpa persetujuan mereka. Kami juga mempertanyakan keberadaan aset lain yang sebelumnya dipublikasikan saat rilis kasus,” bebernya.

Aset-aset yang dimaksud meliputi empat unit truk, Toyota Fortuner, Toyota Hilux, dua motor touring, timbangan kopi, hingga ribuan kilogram kopi titipan di PT LDC. Sementara itu, jam tangan Rolex senilai hampir Rp600 juta yang sempat disita kini dinyatakan palsu dan telah diambil oleh eks kuasa hukum terdahulu.

Tak hanya itu, aliran dana Rp1 miliar ke rekening istri Ahmad Ramadan juga disebut belum ditelusuri lebih lanjut oleh penyidik. Hingga kini, satu-satunya aset yang berhasil disita resmi hanya sebuah Toyota Vios.

Para korban juga mengaku mendapat tekanan untuk menerima penyelesaian perkara secara damai. Mereka dihadapkan pada dilema: menerima perdamaian atau seluruh barang bukti disita negara tanpa ganti rugi.

“Posisi kami sangat lemah. Restorative justice seharusnya didasari kesetaraan, bukan tekanan,” tambah Andi.

Salah satu korban, Husain, mengaku baru mengetahui penghentian perkara setelah mengganti kuasa hukum. “Selama ini kami merasa gelap. Tidak ada transparansi sama sekali,” keluhnya.

Kini, para korban meminta dukungan DPRD Lampung Barat dan DPRD Provinsi Lampung agar turut mengawal jalannya praperadilan. Mereka sudah melayangkan surat resmi ke kedua lembaga legislatif tersebut.

“Kami hanya minta hukum ditegakkan. Jangan sampai masyarakat kecil terus jadi korban karena kalah kuasa,” ucap Husain lirih.

Diketahui, kasus ini sempat dirilis resmi oleh Polda Lampung melalui media sosial. Namun, unggahan itu kini sudah dihapus tanpa penjelasan.

Harapan para korban kini tertuju pada majelis hakim yang akan memutuskan praperadilan. Mereka berharap SP3 dibatalkan, dan penyidikan terhadap Ahmad Ramadan kembali dilanjutkan demi tegaknya keadilan. (rinto/nopri)

Kategori :