Ketika Anggaran Militer Menyalip Pertumbuhan Ekonomi: Israel dan Biaya Panjang dari Perang Multi-Front

Minggu 20 Jul 2025 - 06:12 WIB
Reporter : Nopriadi
Editor : Nopriadi

Radarlambar.bacakoran.co Di tengah bayang-bayang ketegangan yang tak kunjung reda di Timur Tengah, Israel kembali mengambil langkah drastis untuk memperkuat lini pertahanannya. Pemerintah Negeri Yahudi itu resmi menambah anggaran militer sebesar 42 miliar shekel—setara sekitar Rp204 triliun—untuk dua tahun ke depan. Kenaikan signifikan ini tak hanya mencerminkan kebutuhan mendesak akibat konflik bersenjata yang kian meluas, tetapi juga menandai perubahan prioritas fiskal negara yang kini semakin dikuasai oleh urgensi keamanan nasional.
Perang di Banyak Medan, Biaya Terus Membengkak

Sejak akhir 2023, Israel menghadapi situasi genting dari berbagai arah. Di selatan, operasi militer di Jalur Gaza masih berlangsung sengit melawan Hamas. Di utara, ketegangan meningkat dengan Hizbullah di Lebanon. Sementara di timur, Iran meluncurkan ratusan rudal balistik yang langsung ditanggapi dengan kekuatan penuh oleh sistem pertahanan Israel. Bahkan wilayah Suriah pun tak lepas dari operasi udara yang digencarkan Israel sebagai langkah preemptif terhadap potensi ancaman milisi pro-Iran.

Dalam 21 bulan terakhir, beban finansial dari semua operasi ini diperkirakan mencapai puluhan miliar dolar. Dan ini bukan hanya soal rudal dan tank—logistik, dukungan medis, sistem intelijen, serta rekonstruksi infrastruktur militer semuanya menambah daftar panjang pengeluaran.
Rudal Canggih dengan Harga Fantastis

Salah satu elemen utama dalam tambahan anggaran adalah pembelian sistem rudal pencegat Arrow—teknologi pertahanan mutakhir yang menjadi tulang punggung Israel dalam menghadapi serangan udara. Setiap rudal Arrow bernilai antara USD 2 hingga 3 juta. Saat Iran menyerang dengan sekitar 500 rudal balistik pada April lalu, sistem ini menjadi garda depan perlindungan udara Israel.

Tambahan anggaran memungkinkan pemerintah menandatangani kontrak baru untuk pengadaan sistem tersebut dan memperluas kapasitas pertahanan udara, termasuk memperkuat Iron Dome dan David’s Sling—komponen lain dari jaringan pertahanan berlapis Israel.
Beban Fiskal vs Stabilitas Politik

Peningkatan anggaran pertahanan sebesar dua persen dari PDB—padahal anggaran tahun ini sudah tembus 110 miliar shekel—secara langsung meningkatkan tekanan fiskal. Namun, Kementerian Keuangan Israel bersikukuh bahwa kebijakan ini tidak akan mengganggu target defisit anggaran 2025 yang tetap dipatok di 4,9 persen dari PDB. Alasannya, penerimaan negara saat ini masih melebihi ekspektasi, memberi ruang manuver fiskal yang relatif aman—setidaknya untuk saat ini.

Namun di balik kepercayaan diri tersebut, Bank Sentral telah mengeluarkan peringatan. Jika tren pengeluaran pertahanan ini berlanjut, Israel dapat menghadapi risiko ketidakseimbangan fiskal jangka menengah hingga panjang. Pemerintah didorong untuk mulai mengalihkan sebagian anggaran ke sektor yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial, seperti pendidikan, infrastruktur sipil, dan teknologi.
Ekonomi Melambat, Pasar Tetap Bergairah

Konflik berkepanjangan memberi dampak langsung pada pertumbuhan ekonomi. Dengan total PDB sekitar USD 540 miliar, pertumbuhan Israel hanya mencapai satu persen pada 2024—terendah dalam lebih dari dua dekade, jika pandemi dikesampingkan. Sektor-sektor seperti pariwisata, manufaktur sipil, dan perdagangan internasional terdampak serius akibat ketidakpastian keamanan dan kerusakan infrastruktur.

Namun, pasar keuangan justru menunjukkan dinamika yang unik. Bursa saham Israel mencatat kenaikan 36 persen (dalam denominasi dolar), sementara obligasi berbasis shekel mengalami lonjakan permintaan dari investor global. Optimisme ini mencerminkan persepsi bahwa meskipun dibebani perang, Israel tetap menjadi pasar yang stabil dan menjanjikan dalam jangka panjang—terutama dalam sektor teknologi dan pertahanan.
Harga Perang: Lebih dari Sekadar Statistik

Perang 12 hari melawan Iran tidak hanya meninggalkan catatan sejarah sebagai konflik udara terbesar Israel dalam beberapa dekade terakhir, tetapi juga jejak kehancuran yang nyata. Infrastruktur vital seperti pemukiman penduduk, jaringan listrik, kilang minyak, dan pusat transportasi mengalami kerusakan berat. Aktivitas ekonomi di berbagai wilayah terhenti total, menyebabkan kerugian miliaran dolar yang sulit ditambal dalam waktu singkat.

Di balik semua angka—triliunan rupiah anggaran, jutaan dolar per rudal, persen pertumbuhan ekonomi—terdapat realitas lain yang lebih membumi: ketidakpastian hidup warga sipil, tekanan psikologis, dan kerentanan sistem sosial. Biaya perang bukan hanya diukur dalam grafik dan data, tetapi juga dalam kehidupan yang terganggu, pembangunan yang tertunda, dan mimpi-mimpi yang tertahan di tengah sirene dan ledakan.
Akankah Prioritas Berubah?

Saat ini, pemerintah Israel menghadapi dilema yang kian kompleks: mempertahankan superioritas militer demi stabilitas regional atau mulai merancang strategi jangka panjang yang lebih inklusif terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Di dunia yang semakin terhubung, kekuatan tidak lagi semata-mata berasal dari senjata, tetapi juga dari kemampuan menjaga ketahanan ekonomi dan harmoni sosial.

Jika dinamika regional tidak mengalami perbaikan dalam waktu dekat, bisa jadi peningkatan anggaran pertahanan ini bukanlah yang terakhir. Namun di sisi lain, jika perdamaian mampu diwujudkan—meski pelan dan bertahap—Israel mungkin bisa mulai mengalihkan perhatian dari medan tempur ke medan pembangunan. (*)


Kategori :