Ekonomi Indonesia di Tengah Ketidakpastian Global: Masih Tangguh atau Terancam Krisis?

Suasana Pasar Tanah Abang Jakarta-Foto Disway/Bianca Chairunisa--

RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Situasi ekonomi Indonesia menghadapi berbagai tantangan besar akibat dampak ketidakpastian ekonomi global. Meski demikian, sejumlah pihak menilai ekonomi domestik masih cukup tangguh. 

Pemerintah, ekonom, dan legislator sepakat bahwa Indonesia berada dalam posisi yang lebih stabil dibandingkan negara lain yang kini terancam resesi.

Ekonomi global saat ini tengah diguncang oleh kebijakan proteksionis Amerika Serikat yang dipimpin oleh Presiden Donald Trump. 

Pengenaan tarif tinggi terhadap sejumlah negara mitra dagang, seperti Kanada, Meksiko, China, dan Uni Eropa, turut memperburuk kondisi ekonomi global. 

Mulai April 2025, Trump bahkan berencana menerapkan tarif tambahan terhadap Korea Selatan, menambah ketidakpastian ekonomi internasional yang telah berlangsung sejak tahun lalu.

Alhasil, resesi mengancam beberapa negara besar, termasuk Amerika Serikat, dengan kemungkinan resesi mencapai 25%.

Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa Indonesia tetap dalam kondisi yang relatif baik. 

Berdasarkan data Bloomberg pada Februari 2025, probabilitas resesi di Indonesia diperkirakan kurang dari 5%, jauh lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Meksiko (38%) dan Kanada (35%). 

Pemerintah menilai stabilitas ekonomi Indonesia didukung oleh pondasi yang solid, diversifikasi mitra dagang, serta penguatan hilirisasi industri.

Meski begitu, tantangan besar tetap ada, terutama terkait daya beli masyarakat. Menjelang Ramadan dan Lebaran 2025, Indonesia mencatatkan deflasi sebesar 0,09% pada Februari, sesuatu yang jarang terjadi dalam 25 tahun terakhir. 

Deflasi ini mencerminkan rendahnya daya beli masyarakat, yang semakin jelas terlihat dari penurunan impor barang konsumsi. Impor barang konsumsi pada Februari 2025 tercatat merosot hingga 21,05% dibandingkan tahun sebelumnya.

Beberapa ekonom menilai bahwa rendahnya impor ini menandakan berkurangnya permintaan domestik, yang juga tercermin dari penurunan harga bahan makanan. 

Bhima Yudhistira dari Celios menjelaskan bahwa penurunan impor barang konsumsi terjadi karena daya beli masyarakat yang sangat lemah. 

Begitu juga dengan Esther Sri Astuti dari Indef, yang mengingatkan bahwa penurunan impor menjelang hari besar keagamaan adalah indikasi nyata ambruknya daya beli masyarakat.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan