RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Harapan agar nilai tukar rupiah bisa menguat tajam hingga menyentuh angka seribu per dolar AS memang terdengar seperti angan di siang bolong. Namun, bagi pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, hal itu bukan mustahil terwujud, asalkan ada satu langkah besar yang dilakukan secara konsisten dan menyeluruh: hilirisasi komoditas ekspor dalam negeri.
Gagasan itu mengemuka dalam forum nasional yang membahas pengendalian pembangunan daerah triwulan kedua, yang belum lama ini digelar di Yogyakarta. Dalam forum tersebut, pemerintah menegaskan bahwa Indonesia sebenarnya menyimpan potensi besar untuk meningkatkan nilai ekspor hingga berkali-kali lipat, apabila komoditas yang selama ini diekspor dalam bentuk mentah bisa diolah terlebih dahulu di dalam negeri.
Selama bertahun-tahun, Indonesia dinilai terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah. Contoh konkret adalah komoditas kelapa, yang setiap tahunnya dilepas ke pasar luar negeri dengan nilai mencapai Rp20 triliun. Namun sayangnya, proses ekspor tersebut nyaris tanpa nilai tambah karena produk dikirim dalam bentuk bulat tanpa pengolahan.
Padahal, bila kelapa tersebut diproses menjadi minyak, santan instan, atau produk turunan lainnya, nilainya bisa melonjak hingga 100 kali lipat. Artinya, potensi nilai ekonomi dari kelapa saja bisa menembus angka Rp2.000 triliun per tahun. Dan itu baru dari satu komoditas.
Jika pendekatan yang sama diterapkan untuk produk ekspor lainnya—seperti kopi, kakao, mete, dan hasil pertanian strategis lainnya—angka ekspor nasional bisa melonjak fantastis hingga mencapai Rp20.000 hingga Rp50.000 triliun. Potensi ini tentu akan menjadi penopang utama bagi kekuatan ekonomi nasional, dan secara langsung berdampak pada penguatan mata uang rupiah terhadap dolar.
Untuk mempercepat transformasi ini, pemerintah pusat telah mengucurkan anggaran yang tidak sedikit. Presiden Prabowo Subianto memberikan persetujuan terhadap dana sebesar Rp371 triliun yang disiapkan untuk mendukung hilirisasi nasional. Dari total anggaran tersebut, Rp40 triliun sudah dalam posisi siap pakai, dan Rp8 triliun telah resmi ditandatangani untuk segera dicairkan oleh Kementerian Pertanian.
Tak berhenti di situ, kementerian juga menyiapkan tambahan anggaran sekitar Rp4 hingga Rp7 triliun. Dana itu ditujukan untuk membangun fasilitas pengolahan komoditas pertanian di berbagai daerah, terutama di sentra-sentra produksi. Fasilitas ini nantinya akan menjadi tulang punggung hilirisasi di tingkat lokal, agar para petani tidak lagi menjual bahan mentah ke luar negeri, tetapi menjual produk siap ekspor dengan nilai tambah yang signifikan.
Salah satu contoh nyata yang selama ini menjadi perhatian adalah kakao dari Sulawesi. Komoditas tersebut diekspor dalam bentuk biji ke negara tetangga, seperti Singapura. Di negara tujuan, kakao hanya digiling secara sederhana sebelum dijual kembali ke pasar global dengan harga 38 kali lipat dari harga beli. Ironisnya, nilai tambah sebesar itu dinikmati negara lain, bukan Indonesia sebagai penghasil utama.
Pemerintah pun bertekad membalik situasi tersebut. Seluruh rantai produksi akan dipusatkan di dalam negeri, mulai dari pengolahan bahan baku, pengemasan, hingga distribusi produk ekspor. Dengan demikian, Indonesia tak hanya menjadi penghasil bahan mentah, tetapi juga menjadi pemain utama dalam rantai pasok global produk pertanian dan perkebunan.
Lebih jauh lagi, pemerintah juga menyoroti pasar baru yang tengah berkembang, terutama dari negara-negara besar seperti India dan China, yang saat ini mulai melirik produk olahan kelapa seperti coconut meal. Namun, sayangnya, negara-negara tersebut tidak memiliki iklim yang cocok untuk membudidayakan kelapa secara masif. Inilah celah pasar yang seharusnya dimanfaatkan Indonesia dengan maksimal.
Fakta bahwa di pasar Eropa, harga kelapa mentah bisa mencapai Rp34.000 per butir menjadi indikasi bahwa komoditas lokal kita memiliki nilai jual tinggi di luar negeri. Pemerintah melihat peluang besar ini sebagai jalan menuju transformasi ekonomi nasional.
Saat ini terdapat 13 komoditas strategis yang tengah dibidik pemerintah untuk masuk dalam program hilirisasi prioritas. Enam di antaranya dinilai sangat potensial untuk diselesaikan dalam waktu dekat. Jika berhasil, bukan tak mungkin ekspor Indonesia yang saat ini berada di kisaran Rp600 triliun per tahun bisa melonjak drastis menjadi Rp30.000 triliun.
Dengan kekuatan ekspor sebesar itu, pemerintah optimistis mimpi menuju “Indonesia Emas” bukan sekadar wacana. Nilai tukar rupiah terhadap dolar pun diyakini akan terdongkrak hingga level yang belum pernah terbayangkan sebelumnya, yakni seribu rupiah per satu dolar AS. Sebuah lompatan besar menuju status negara superpower ekonomi dunia.
Namun tentu saja, mimpi besar itu memerlukan kerja keras yang tidak main-main. Komitmen untuk mengubah pola lama ekspor bahan mentah menjadi ekspor produk olahan harus dijalankan lintas sektor, dari hulu hingga hilir. Infrastruktur, teknologi, sumber daya manusia, dan koordinasi lintas kementerian harus disatukan demi menggerakkan mesin hilirisasi nasional.
Masa depan rupiah dan kejayaan ekonomi Indonesia tampaknya akan sangat bergantung pada seberapa cepat bangsa ini mampu bertransformasi dari pengekspor bahan mentah menjadi eksportir produk bernilai tinggi. Jika itu terwujud, bukan tidak mungkin Indonesia akan mencetak sejarah baru dalam percaturan ekonomi global.(*/rinto)