RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pesisir Barat (Pesbar) menggelar forum diskusi kelompok atau Focus Group Discussion (FGD) dengan topik kajian teknis penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan 2024. Acara yang dipusatkan di kantor KPU setempat pada Kamis, 18 September 2025 itu mengambil tema penataan daerah pemilihan (dapil) dan mekanisme pencalonan anggota DPRD Kabupaten Pesbar.
Hadir dalam kesempatan itu, komisioner KPU Pesbar, antara lain Irwansyah, Marten Efendi, Agusman, dan Erwan Andri Yusta. Turut serta Ketua Bawaslu Pesbar Abd. Kodrat S, S.H., M.H., unsur organisasi perangkat daerah (OPD) Pemkab Pesbar, perwakilan forkopimda, pengurus partai politik, serta sejumlah narasumber di antaranya yakni Tulus Basuki dan Azwan Feri, yang merupakan mantan komisioner KPU Pesbar.
Anggota KPU Pesbar, Marten Efendi, dalam pemaparannya menegaskan bahwa FGD kali ini merupakan tindak lanjut atas instruksi KPU RI untuk menelaah kembali berbagai tahapan Pemilu 2024. Selain mengevaluasi proses yang telah berjalan, forum ini juga dimaksudkan untuk mengidentifikasi area yang masih perlu diperbaiki, khususnya terkait penataan dapil, pembaruan data pemilih, serta aspek teknis lainnya. Forum ini menjadi ruang bersama untuk berbagi pengalaman, gagasan, dan solusi terkait apa saja yang harus dibenahi pasca Pemilu maupun Pilkada lalu.
“Masukan dari peserta sangat penting karena hasil dari FGD tingkat kabupaten ini nantinya juga akan dibawa ke forum serupa di tingkat provinsi,” kata Marten.
Dalam kesempatan tersebut, Tulus Basuki selaku narasumber dalam kegiatan itu menyampaikan prinsip-prinsip dasar penataan daerah pemilihan. Ia menekankan bahwa penyusunan dapil harus berlandaskan kesetaraan nilai suara atau equal representation. Maksudnya, jumlah kursi yang tersedia di setiap dapil harus sebanding dengan jumlah penduduk agar setiap suara warga memiliki nilai yang sama.
“Tidak boleh ada ketimpangan mencolok, misalnya satu dapil memiliki jumlah kursi yang tidak proporsional dengan jumlah penduduk dibandingkan dapil lain,” paparnya.
Selain itu, lanjutnya, penataan dapil juga wajib mengikuti sistem pemilu proporsional terbuka yang diterapkan di Indonesia. Dalam sistem ini, alokasi kursi ditentukan berdasarkan jumlah suara yang diperoleh partai politik atau calon, bukan dengan mekanisme mayoritas tunggal.
“Distribusi kursi harus dirancang proporsional dengan mempertimbangkan jumlah penduduk di tiap dapil, agar tidak terjadi penumpukan representasi di wilayah tertentu saja,” ujarnya.
Dikatakannya, integritas wilayah juga menjadi aspek penting dalam penyusunan dapil. Artinya, dapil harus tetap memperhatikan batas administratif seperti kecamatan atau kabupaten, serta tidak memisahkan wilayah yang memiliki keterikatan sosial, budaya, atau sejarah. Prinsip ini dikenal sebagai cohesiveness, yakni memastikan satu dapil berada dalam cakupan wilayah yang sama dan tidak melintasi batas provinsi maupun kabupaten/kota, kecuali terdapat alasan hukum yang mengatur.
“Penataan dapil juga harus memperhatikan kohesivitas masyarakat. Faktor sosial budaya, adat, suku, agama, hingga sejarah setempat menjadi pertimbangan agar masyarakat dalam satu dapil memiliki keterhubungan yang erat,” jelasnya.
Dengan demikian, kata dia, keterwakilan politik dapat berjalan lebih efektif. Prinsip kesinambungan juga patut dijaga. Artinya, dapil yang sudah ada sebelumnya sebisa mungkin dipertahankan, kecuali bila terjadi perubahan signifikan dalam jumlah penduduk atau adanya penyesuaian jumlah kursi.
“Hal ini penting agar stabilitas representasi politik tetap terjaga dan pemilih tidak bingung dengan perubahan yang terlalu drastis,” jelasnya.
Lebih lanjut, Tulus menjabarkan mekanisme penataan dapil yang meliputi penentuan alokasi kursi di tiap daerah, pembagian kursi per dapil yang berkisar antara tiga hingga dua belas kursi, penyusunan peta dapil, uji publik, hingga penetapan resmi oleh KPU. Namun, ia mengakui bahwa proses tersebut tidak lepas dari sejumlah tantangan.
Beberapa di antaranya yakni ketimpangan jumlah pemilih antar dapil, dinamika perubahan penduduk, hingga potensi konflik kepentingan politik. Untuk menjawab tantangan itu, penting adanya transparansi dalam setiap tahapan penataan dapil. Publik juga harus dilibatkan melalui konsultasi dan uji publik agar hasilnya benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat.
“Selain itu, penggunaan data kependudukan terbaru, kepatuhan terhadap prinsip proporsionalitas, serta penegakan regulasi yang berlaku menjadi kunci agar proses penataan dapil berjalan adil dan demokratis,” pungkasnya. (yayan/*)