Induk Meliau masih ingat detik-detik ketakutannya ketika dikepung satpam PT SAL saat memungut berondolan sawit di kebun perusahaan. Saat itu, ia tengah hamil tua dan hanya bisa pasrah ketika berondolan yang dikumpulkannya sejak pagi disita. Satpam bahkan sempat mengucapkan sumpah, “Anak kau tidak akan selamat,” yang menimbulkan trauma mendalam bagi Meliau dan kelompoknya.
Setelah diusir, mereka berkelana mencari lokasi aman untuk melahirkan. Akhirnya, mereka menemukan tempat di dekat Sungai Punti Kayu, dengan dukun yang senantiasa terhubung dengan Dewo—Tuhan dalam Kepercayaan Bedewo. Anak Meliau lahir dengan selamat, namun tak lama kemudian meninggal tanpa gejala sakit. Peristiwa ini membuat Meliau berbulan-bulan melangun atau berpindah-pindah, melewati kebun sawit yang dulunya hutan adat milik leluhurnya.
Tano Peranokon: Situs Suci yang Hilang
Tano Peranokon adalah situs adat yang dipercaya Orang Rimba melindungi perempuan saat melahirkan. Namun, aktivitas PT SAL yang menebang hutan untuk kebun sawit membuat akses ke Tano Peranokon terhalang. Akibatnya, banyak perempuan Orang Rimba terpaksa melahirkan di lokasi lain, menghadapi risiko kesehatan dan keselamatan. Beberapa bahkan mengalami keguguran atau disabilitas karena dikejar-kejar satpam perusahaan.
Dukun Godong, yang menetapkan Tano Peranokon secara spiritual, menegaskan proses kelahiran harus dilakukan di situs adat ini. Di tempat suci tersebut, ritual kelahiran dilakukan dengan bantuan dua dukun dan menggunakan simbol-simbol adat, termasuk penanaman ari-ari bayi di bawah pohon Sentubung dan ritual mandi di sungai kecil yang airnya harus bersih. Kini, sungai yang tercemar dan hutan yang beralih menjadi sawit membuat praktik ini sulit dijalankan.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Kehilangan akses ke hutan adat membuat Orang Rimba kesulitan mencari pangan lokal seperti gadung dan benor. Mereka terpaksa mengonsumsi beras dan mencari penghasilan dari memungut berondolan sawit atau berburu babi. Namun, sejak kasus kematian babi massal, hasil berburu menurun drastis. Bantuan sosial dari negara sulit menjangkau mereka karena mayoritas Orang Rimba tidak memiliki KTP dan hidup semi-nomaden.
Data KKI Warsi dan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) menunjukkan populasi Orang Rimba sekitar 4.065 jiwa. Lebih dari 60 persen berada di wilayah konsesi perkebunan sawit, dan hanya sebagian kecil memiliki akses ke zona tradisional di TNBD. Kehilangan akses hutan berarti mereka juga kehilangan praktik budaya dan situs sakral, termasuk Tano Peranokon, Pusaron, dan Bebalai.
Tanggung Jawab Perusahaan
PT SAL, melalui induknya PT Astra Agro Lestari Tbk, mengklaim telah melakukan pemetaan kebutuhan Orang Rimba bekerja sama dengan lembaga independen Daemeter Consulting. Perusahaan menyediakan pendidikan bagi 421 anak Orang Rimba, layanan kesehatan keliling, posyandu, dan ambulans untuk kebutuhan darurat.
Meski demikian, menurut UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) dan Direktur KKI Warsi Adi Junedi, CSR tidak cukup. Pemulihan hak Orang Rimba harus mencakup restitusi lahan dan rehabilitasi hutan, terutama akses ke Tano Peranokon dan situs adat lain. Orang Rimba hanya meminta sekapling tanah untuk menunjang ekonomi, bukan keseluruhan hutan, sebagai bentuk solusi yang realistis.