Peratin Bukan Raja di Pekon

0712--

SUMBERJAYA - Sebagai negara hukum, pelaksanaan pemerintahan dilakukan berdasarkan prinsip supremasi hukum, dengan demikian setiap perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah harus sejalan dengan hukum yang ada.

 Kondisi ini melahirkan sebuah antitesis bahwa perbuatan pemerintah yang di luar dari itu dapat termasuk bukan wewenang, melampaui wewenang, atau sewenang-wenang. 

Soal kekuasaan, dalam istilah Lord Acton, dikenal ungkapan A Power tends to corrupt;Â absolute power corrupts absolutely sehingga tanpa pembatasan kekuasaan maka arah yang dituju oleh pemerintahan hanya kepentingan pribadi dan golongan tertentu semata.

Berbeda kondisi dengan pemerintahan yang menganut sistem monarki absolut, dengan kewenangan penguasanya yang tanpa batas, sebab raja adalah hukum itu sendiri.

Dalam pemerintahan desa (pekon), posisi kepala desa (pertin) bukan sebagai raja di wilayah tersebut, yang dapat menjalankan pemerintahan atas sekehendaknya saja. Termasuk dalam pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa, melibatkan intuisi berupaa like and dislike dengan mengesampingkan aturan adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. 

Kondisi ini tidak lain adalah bentuk penyakit nepotisme, pengisian jabatan di pemerintahan yang didasarkan pada hubungan bukan pada kemampuan. 

Akibat, paling sederhana yang dapat ditimbulkan oleh praktik pengisian jabatan seperti ini dalam aspek pelayanan publik adalah adanya potensi maladministrasi dalam pemberian layanan akibat petugas yang tidak kompeten.

Ketua Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Kabupaten Lambar, Agung Widadi mengatakan, perangkat desa adalah unsur penyelenggara pemerintahan desa yang bertugas membantu kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya pada penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat di desa. 

Berdasarkan Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan perangkat desa berada pada kepala desa, namun pelaksanaan wewenang tersebut tentunya harus sesuai dengan mekanisme yang telah diatur.

Pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa tunduk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Perangkat Desa sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2017. 

Hal ini demi memastikan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa dilakukan secara teruji dan terukur bukan atas perasaan suka dan tidak suka kepada orang tertentu.

Berdasarkan Permendagri tersebut diatur perangkat desa berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Khusus untuk pemberhentian perangkat desa karena diberhentikan, yang selama ini menjadi substansi pengaduan ke Ombudsman sebenarnya telah diatur dengan jelas pula tata caranya.

Yakni dengan terlebih dahulu melakukan konsultasi kepada Camat dan memperoleh rekomendasi camat secara tertulis dengan berdasar pada alasan pemberhentian sesuai syarat yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 67 tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 83 tahun 2015 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa. 

Dengan menjalankan mekanisme tersebut secara taat dan patuh, seharusnya pemberhentian perangkat desa tidak menjadi persoalan atau substansi pengaduan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan