Mengapa Indonesia Tidak Bisa Pangkas PPN ke 8 Persen Seperti Vietnam?

Vietnam memotong tarif PPN dari 10 persen menjadi 8 persen hingga akhir Juni 2025. Ilustrasi by iStockphoto.--

Radarlambar.bacakoran.co- Pemerintah Vietnam baru-baru ini memutuskan untuk memperpanjang kebijakan pemotongan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 8% hingga akhir Juni 2025.

Keputusan ini bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan penurunan tarif PPN, pemerintah Vietnam berharap harga barang dan jasa dapat lebih terjangkau, memberikan dorongan pada aktivitas bisnis dan konsumsi.

Sebaliknya, Indonesia justru mengambil langkah sebaliknya dengan menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12%, yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk menambah pendapatan negara melalui pajak konsumsi, sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Meskipun kenaikan ini ditentang banyak kalangan, pemerintah Indonesia berpendapat bahwa langkah tersebut perlu dilakukan untuk memperbaiki defisit anggaran negara.

Pemerintah Vietnam percaya bahwa dengan menurunkan tarif PPN, mereka dapat merangsang daya beli masyarakat dan mempercepat pemulihan ekonomi setelah pandemi. Penurunan ini juga diharapkan dapat menarik wisatawan asing yang melihat Vietnam sebagai destinasi dengan harga yang lebih kompetitif. Namun, kebijakan ini tidak berlaku untuk sektor-sektor tertentu seperti real estat, perbankan, dan telekomunikasi.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa Vietnam memahami bagaimana cara efektif meningkatkan rasio pajak tanpa menaikkan tarif.

"Penurunan tarif PPN di Vietnam dapat mendorong konsumsi, yang pada gilirannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan produksi," ujarnya.

Langkah ini juga diyakini dapat menarik lebih banyak investasi di sektor manufaktur, memperkuat daya saing Vietnam di pasar global.

Di sisi lain, Indonesia menghadapi tantangan berat akibat kenaikan tarif PPN, yang berpotensi memengaruhi daya beli masyarakat yang sedang tertekan.

Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action (ISEAI), Ronny P. Sasmita, menyoroti bahwa kenaikan tarif PPN bisa menurunkan permintaan barang dan jasa, mengingat harga yang lebih tinggi.

Hal ini dapat memengaruhi produktivitas sektor manufaktur dan jasa yang sangat bergantung pada konsumsi domestik.

“Jika PPN dinaikkan, harga barang dan jasa akan naik, yang dapat menurunkan daya beli masyarakat, terutama dalam kondisi ekonomi yang masih lesu,” ujar Ronny.

Ini menjadi perhatian utama, karena kenaikan PPN yang terlalu tinggi dapat menekan sektor-sektor penting seperti manufaktur yang berkontribusi besar terhadap perekonomian.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan