SETARA Institute Kritik Revisi Tatib DPR yang Bisa Evaluasi Pejabat Negara

Ilustrasi. Pembahasan di Gedung DPR RI. Foto-Net--

Radarlambar.bacakoran.co- Revisi terbaru Tata Tertib (Tatib) DPR yang memungkinkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengevaluasi pejabat negara yang mereka pilih, mendapatkan sorotan keras dari SETARA Institute. 

Dalam revisi ini, hasil evaluasi DPR terhadap pejabat yang telah ditetapkan dapat berujung pada rekomendasi pemberhentian, sebuah ketentuan yang dinilai oleh SETARA Institute sebagai intervensi yang keliru terhadap prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menyatakan bahwa meskipun dalam ketentuan tersebut tidak secara eksplisit disebutkan tentang pencopotan pejabat, namun frasa yang terdapat pada Pasal 228A Ayat (2) yang menyebutkan bahwa hasil evaluasi bersifat mengikat, dapat menyebabkan rekomendasi pencopotan jika hasil evaluasi tersebut mengarah pada keputusan tersebut. Hendardi menganggap hal ini berpotensi melemahkan independensi lembaga-lembaga negara dan bertentangan dengan prinsip dasar UUD 1945.

Hendardi menjelaskan bahwa peraturan internal dalam sebuah lembaga negara seharusnya hanya mengatur urusan internal kelembagaan atau yang berhubungan langsung dengan lembaga tersebut. Namun, norma dalam Pasal 228A ini, menurutnya, sudah melampaui itu dengan memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengevaluasi dan memberikan rekomendasi mengenai pejabat yang telah ditetapkan di lembaga negara, seperti hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kapolri, dan Panglima TNI.

Menurut Hendardi, norma yang ada dalam revisi tersebut tidak hanya berisiko mengganggu kedaulatan rakyat seperti yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, tetapi juga bertentangan dengan puluhan UU sektoral lainnya yang menjamin independensi lembaga-lembaga tersebut. Kewenangan DPR dalam melakukan evaluasi terhadap pejabat negara ini dianggap melampaui batas yang seharusnya diatur oleh konstitusi dan undang-undang terkait.

Dalam perspektif Hendardi, DPR gagal memahami prinsip pengawasan yang seharusnya menjadi tugas dan fungsi mereka menurut Pasal 20A (1) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, bukan terhadap kinerja personal pejabat negara. Pengawasan DPR seharusnya lebih berfokus pada implementasi undang-undang yang sudah dibentuk, bukan pada penilaian terhadap kinerja individu atau pejabat negara, yang dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan disalahgunakan.

Lebih jauh lagi, Hendardi menegaskan bahwa dalam sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia, fungsi DPR dalam menyetujui pencalonan atau penunjukan pejabat negara semestinya berfokus pada memastikan adanya kontrol dan keseimbangan antar lembaga negara. Fungsi ini bertujuan untuk membatasi kekuasaan eksekutif, bukan untuk memperlemah independensi lembaga-lembaga negara yang seharusnya beroperasi secara bebas dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan politik.

Pada kesempatan yang sama, Hendardi menegaskan pentingnya DPR untuk kembali fokus pada tugas utama mereka sebagai pembentuk undang-undang, pengawas pelaksanaan undang-undang, serta fungsi budgeting yang lebih berkualitas. Menurutnya, DPR seharusnya tidak terjebak dalam ranjau politik yang bisa merugikan rakyat dan melemahkan prinsip-prinsip ketatanegaraan Indonesia.

Revisi Tata Tertib DPR yang diusulkan ini sendiri telah disepakati dalam rapat paripurna pada 4 Februari 2025, dengan penambahan Pasal 228A yang memberikan kewenangan bagi DPR untuk melakukan evaluasi terhadap pejabat negara yang mereka pilih. Ketentuan ini memberikan sinyal bahwa DPR dapat memberikan rekomendasi mengenai status pejabat yang telah ditetapkan, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan tentang kemungkinan pemberhentian.

Hal ini memunculkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan, termasuk dari pejabat di sejumlah lembaga negara yang penunjukan pejabatnya melalui mekanisme DPR. Evaluasi yang diusulkan dalam revisi ini dinilai oleh beberapa pihak sebagai langkah yang berisiko merusak integritas dan independensi lembaga-lembaga negara yang selama ini dijamin oleh konstitusi. *

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan