Derita Warga di Pelosok Lampung Barat, Berjuang Menembus "Aspal Merah" di Musim Hujan
![](https://radarlambar.bacakoran.co/upload/feae02ad1a4096770d231e01981b7416.jpg)
KONDISI jalan poros Pekon Sidodadi Kecamatan Pagardewa masih berupa tanah. Foto Dok --
”Memasuki usia Kabupaten Lampung Barat yang telah menginjak 32 tahun, kondisi ini menunjukkan betapa Pekon Sidodadi dan Pekon Batu Api seakan terlupakan oleh pembangunan,”
HUJAN, yang seharusnya menjadi berkah bagi warga Pekon Sidodadi, Kecamatan Pagar Dewa, Kabupaten Lampung Barat, justru menyimpan penderitaan yang mendalam. Derasnya air yang turun, seolah menyiram luka lama yang tak kunjung sembuh, mengubah jalan utama yang semestinya menghubungkan antar wilayah menjadi kubangan lumpur yang hampir tak bisa dilewati.
Jalan sepanjang 7 kilometer dari Pekon Basungan dan 4 kilometer dari Pekon Batu Api menjadi tantangan berat yang menanti setiap warga. Seakan tak mengenal waktu, “aspal merah” – istilah yang disematkan warga untuk jalan tanah yang licin saat hujan dan berdebu saat kemarau – tetap menghantui mereka.
Memasuki usia Kabupaten Lampung Barat yang telah menginjak 32 tahun, kondisi ini menunjukkan betapa Pekon Sidodadi dan Pekon Batu Api seakan terlupakan oleh pembangunan.
Kondisi yang terjadi bukan sekadar masalah infrastruktur, melainkan juga mengancam sendi-sendi kehidupan warga. Hasil panen yang melimpah tak bisa dinikmati dengan baik, barang-barang tak dapat terdistribusi tepat waktu, dan biaya transportasi pun melonjak tinggi akibat medan yang ekstrem. Setiap tetes hujan, seolah menjadi beban bertambah berat di pundak mereka.
Peratin Sidodadi, Anilah Rahmayanti, seakan tidak mengenal lelah dalam upayanya menyuarakan harapan warganya. "Kami terus berjuang, berulang kali mengajukan permohonan perbaikan jalan ke pemerintah daerah," katanya.
Usulan tersebut sudah disampaikan lewat Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), bahkan saat kunjungan pejabat. Namun, janji-janji itu tetap menggantung, tak kunjung menjadi kenyataan.
Bagi warga Sidodadi, jalan ini bukan sekadar sarana transportasi, melainkan lambang perjuangan mereka setiap hari. Jalan yang menjadi saksi bisu hidup mereka, yang terus berdebu di musim kemarau dan berlumpur di musim hujan.
"Kami berharap, tahun 2025 ini akan membawa perubahan yang nyata," kata Anilah penuh harap.
"Kami tidak hanya berusaha lewat jalur formal, tapi juga lewat doa yang tak pernah putus, semoga ada keajaiban pembangunan ini segera terealisasi," tambahnya dengan mata berbinar.
Sementara itu, meski pembangunan kecil-kecilan terus dilakukan dengan Anggaran Dana Desa (ADD), kondisi jalan utama masih tak bisa diubah. "Kami sangat terbatas dengan dana desa. Perbaikan jalan utama ini membutuhkan anggaran yang jauh lebih besar, dan itu bukan lagi tanggung jawab desa," tegasnya.
Dengan hampir 2.000 jiwa yang menggantungkan hidupnya pada jalan ini, sudah saatnya pemerintah daerah memperhatikan Pekon Sidodadi dengan serius. Jalan ini bukan sekadar infrastruktur, tetapi darah yang mengalir dalam kehidupan warga.
Harapan mereka pun terpatri di tahun 2025: sebuah janji yang diharapkan bukan hanya menjadi angan-angan, tetapi awal dari perubahan nyata yang dinanti-nanti.