Longsor di Mutaralam Belum Ditangani, Pemkab Diminta Perhatikan Nasib Warga

Longsor pemukiman Pemangku Simpang, Pekon Mutaralam Kecamatan Waytenong yang bekum di tangani.-Foto Dok---
WAYTENONG – Warga Pemangku Simpang, Pekon Mutaralam, Kecamatan Waytenong, Kabupaten Lampung Barat, kembali harus menerima kenyataan pahit. Hingga tahun 2025, belum ada upaya penanganan longsor yang menimpa pemukiman mereka.
Alasan yang kembali dikemukakan oleh pemerintah daerah adalah keterbatasan anggaran yang dimiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung Barat. BPBD hanya memiliki anggaran Rp2 miliar untuk penanggulangan bencana di 15 kecamatan sepanjang tahun ini.
Kondisi ini mendapat sorotan dari Anggota DPRD Lampung Barat, Fraksi PKS, H. Harun Roni. Ia meminta Pemkab Lampung Barat untuk memberikan perhatian lebih kepada keluarga-keluarga yang terdampak, terutama mereka yang sudah kehilangan tempat tinggal akibat longsor.
Sejak bencana longsor terjadi tiga tahun lalu, sejumlah keluarga masih bertahan dengan menumpang di rumah kerabat maupun warga sekitar. Mereka hidup dalam ketidakpastian, tanpa kejelasan kapan bisa kembali memiliki rumah yang layak.
"Kami memahami keterbatasan anggaran, tetapi setidaknya Pemkab Lampung Barat menunjukkan niat untuk membantu masyarakat. Jangan sampai warga yang kehilangan rumah dibiarkan berjuang sendiri dalam keterbatasan," tegas Harun Roni saat dikonfirmasi Radar Lambar.
Menurutnya, meski belum ada anggaran untuk penanganan longsor secara menyeluruh, pemerintah seharusnya bisa mengambil langkah lain untuk membantu warga.
Misalnya, dengan memberikan bantuan tempat tinggal sementara atau bantuan ekonomi bagi keluarga terdampak agar mereka bisa sedikit terbantu dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Bagi para korban, setiap tahun yang berlalu tanpa kepastian membuat harapan mereka semakin menipis. Seorang warga terdampak mengungkapkan bahwa mereka merasa seperti "dilupakan" setelah kejadian itu.
"Awalnya kami masih berharap pemerintah akan turun tangan. Tapi sekarang, kami hanya bisa pasrah. Kami hidup menumpang, tak tahu sampai kapan," ujar salah satu warga dengan suara lirih.
Bencana alam memang tidak bisa dihindari, tetapi bagaimana pemerintah menangani dampaknya adalah cerminan dari kepedulian terhadap warganya. Saat ini, yang dibutuhkan bukan hanya anggaran, tetapi juga keberpihakan dan empati kepada mereka yang terdampak.
Harapan warga Waytenong sederhana—mereka hanya ingin kepastian, sedikit uluran tangan, dan bukti bahwa mereka tidak sendiri dalam menghadapi penderitaan ini. (rinto/nopri)