Kebakaran di Pemangkat dan Sentimen Anti-Tionghoa di Indonesia pada 1959

Kebakaran di Pemangkat dan Sentimen Anti-Tionghoa di Indonesia pada 1959. Foto/net--

Radarlambar.bacakoran.co -Pada tahun 1959, Antara melaporkan sebuah kebakaran besar yang terjadi di Pemangkat, sebuah daerah yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Kebakaran tersebut menghanguskan pelabuhan utama, toko, perusahaan, dan gudang hasil bumi yang kebetulan banyak dimiliki oleh etnis Tionghoa. Peristiwa ini menggambarkan betapa sentimen anti-Tionghoa semakin meningkat di Indonesia pada masa itu, terutama setelah terjadinya beberapa peristiwa yang menyulut kebencian terhadap komunitas Tionghoa.

Salah satu peristiwa penting yang menjadi latar belakang sentimen ini adalah kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada tahun 1955 mengenai dwikewarganegaraan. Perjanjian tersebut, yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Sunario, dan Perdana Menteri Tiongkok, Zhou Enlai, seharusnya memberikan kejelasan mengenai status kewarganegaraan bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia. Namun, perjanjian ini tidak kunjung mendapat implementasi yang jelas, terutama karena kesulitan administrasi dan penundaan di DPR.

Indonesianisasi dan Pembatasan bagi Etnis Tionghoa

Periode Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Sukarno semakin memperburuk keadaan. Pada tahun 1959, Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menetapkan kembali UUD 1945 dan menghapuskan UUDS 1950. Semangat Indonesianisasi menggema di seluruh aspek kehidupan, termasuk sektor perdagangan. Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 10 Tahun 1959 (PP No. 10/1959) membatasi sektor perdagangan bagi orang asing, termasuk etnis Tionghoa, yang dominan menguasai usaha kecil dan menengah di Indonesia.

PP No. 10/1959 mengatur larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di luar ibu kota daerah, dan aturan ini secara langsung mengarah pada etnis Tionghoa. Aturan ini menyebabkan banyak toko milik orang Tionghoa yang sebelumnya tersebar di pedesaan terpaksa ditutup atau dipindahkan ke kota-kota besar, sementara banyak yang gulung tikar.

Tindakan Represif dan Akibat Sosial

Penerapan PP No. 10/1959 ini tidak hanya mempengaruhi perekonomian orang-orang Tionghoa, tetapi juga memicu tindakan represif yang semakin memperburuk keadaan mereka. Pengusiran, pembakaran toko, bahkan pembunuhan terjadi sebagai akibat langsung dari penerapan aturan ini. Banyak orang Tionghoa yang kehilangan rumah dan usaha mereka, bahkan terpaksa meninggalkan Indonesia. Menurut catatan sejarah, sekitar setengah juta orang Tionghoa terusir dari rumah mereka akibat aturan ini, sementara puluhan ribu usaha milik mereka hancur.

Penulis Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Hoakiau di Indonesia menggambarkan situasi kelam ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Ia menyebutkan bahwa akibat PP No. 10/1959, banyak orang Tionghoa yang hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan, tak tahu apakah mereka akan selamat atau tidak. Kondisi ini membuat banyak dari mereka mencari jalan keluar, bahkan dengan eksodus besar-besaran ke luar negeri.

Reaksi Diplomatik dan Konflik dengan Republik Rakyat Tiongkok

Tindakan represif yang terjadi di Indonesia juga memicu reaksi keras dari Republik Rakyat Tiongkok. Pemerintah Tiongkok mengirimkan nota protes melalui duta besar mereka dan menuntut Pemerintah Indonesia untuk meninjau ulang kebijakan tersebut. Bahkan, Pemerintah Tiongkok mengirimkan kapal untuk mengangkut mereka yang terdampak aturan ini untuk kembali ke Tiongkok.

Kesimpulan dan Pengaruh Jangka Panjang

Penerapan PP No. 10/1959 dan kebijakan Indonesianisasi yang lebih luas memunculkan dampak sosial dan politik yang dalam. Selain merusak hubungan Indonesia dengan Tiongkok, kebijakan ini juga memperburuk kondisi ekonomi dan sosial bagi komunitas Tionghoa di Indonesia. Diskriminasi dan kekerasan yang dihadapi mereka menjadi bagian dari sejarah kelam bangsa ini, yang meninggalkan luka mendalam dalam hubungan antar etnis di Indonesia.

Upaya untuk mengusir orang Tionghoa dari sektor perdagangan, yang dipicu oleh alasan nasionalisme dan sentimen anti-Tionghoa, menciptakan ketegangan yang tidak hanya berpengaruh pada perekonomian, tetapi juga pada stabilitas sosial dan politik Indonesia pada masa itu. (*)


 

 

 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan