Skandal Suap Rp 60 Miliar Guncang Dunia Peradilan, Desakan Pengesahan RUU Perampasan Aset Meningkat

Pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho menilai skandal suap Rp 60 miliar oleh hakim dalam kasus korporasi minyak goreng jadi momentum penting mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset.//Foto:dok/net.--
Radarlambar.Bacakoran.co — Skandal suap sebesar Rp 60 miliar yang melibatkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bersama dua hakim lainnya dalam putusan bebas terhadap tiga raksasa korporasi minyak goreng telah mencoreng wajah peradilan Indonesia. Peristiwa ini kembali membangkitkan urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sebagai langkah nyata melawan praktik korupsi sistemik.
Pengamat hukum Hardjuno Wiwoho menyebut kasus ini sebagai titik nadir dalam sistem hukum nasional. Ia menegaskan, tanpa RUU Perampasan Aset, vonis penjara terhadap pelaku suap dan korupsi hanya bersifat sementara. "Jika hasil kejahatan tidak dirampas negara, maka hukuman penjara hanyalah jeda kemewahan mereka. Setelah keluar, mereka tetap bisa hidup nyaman dengan uang haram tersebut," ujarnya.
Vonis Bebas untuk Raksasa Minyak Goreng
Kasus ini mencuat setelah terungkap bahwa hakim Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto diduga menerima suap dalam proses persidangan tiga perusahaan besar: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Ketiganya sebelumnya dinyatakan bebas dalam kasus dugaan penyalahgunaan distribusi minyak goreng bersubsidi yang merugikan negara.
Menurut Hardjuno, Negara telah mengalokasikan dana triliunan untuk subsidi minyak goreng agar masyarakat tidak terbebani. Tapi sayangnya di balik itu, justru terjadi praktik jual-beli keadilan yang mencederai rasa keadilan publik.
Terungkap dari Kasus Lain, Uang dan Emas Triliunan Disita
Penelusuran Kejaksaan Agung bermula dari penyidikan kasus lain yang melibatkan vonis bebas Ronald Tannur di Surabaya. Dari sana, tim penyidik menemukan bukti mengejutkan: uang tunai nyaris Rp 1 triliun dan emas batangan disimpan di rumah seorang mantan pejabat Mahkamah Agung.
Penemuan itu akhirnya justru membuka tabir lebih luas, hingga menyeret hakim-hakim dari PN Jakarta Selatan ke dalam pusaran skandal yang sama. Dalam pengembangan kasus, Kejagung menetapkan tujuh tersangka, termasuk tiga hakim, sejumlah pengacara, dan pejabat pengadilan.
Ketiganya kini ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung untuk masa penahanan awal selama 20 hari.
RUU Perampasan Aset, Harapan Baru Pemberantasan Korupsi
Menanggapi kasus ini, Hardjuno mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Menurutnya, undang-undang tersebut bukan hanya penting, tetapi vital untuk menjamin bahwa aset hasil korupsi tidak kembali ke tangan pelaku.
"Undang-undang ini akan menjadi instrumen strategis yang memutus mata rantai kekayaan haram. Tak ada lagi pelaku korupsi yang bisa membeli kebebasan atau kekuasaan dengan uang kotor," ujarnya.
Ia juga mendorong dibentuknya lembaga pengawasan independen yang bertugas mengaudit kekayaan, gaya hidup, dan potensi konflik kepentingan para aparat penegak hukum, khususnya hakim.
Akhir dari Impunitas?