Viral di TikTok, Produsen China Ungkap Fakta di Balik Barang Mewah Dunia

Viral di TikTok, Produsen China Ungkap Fakta di Balik Barang Mewah Dunia. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co - Sejumlah kreator konten asal China memicu kehebohan di media sosial setelah mempublikasikan klaim bahwa sebagian besar barang mewah yang dijual di Amerika Serikat ternyata diproduksi oleh pabrik-pabrik di China. Unggahan mereka menampilkan potongan proses produksi berbagai merek ternama seperti Hermès, Louis Vuitton, hingga Lululemon—disertai dengan perbandingan harga yang mencolok.
Dalam video-video tersebut, sejumlah produk yang dijual ribuan hingga puluhan ribu dolar AS di pasar global disebut bisa dibeli langsung dari produsen dengan harga jauh lebih murah, bahkan hanya sepersekian dari harga resmi. Tas serupa Birkin, misalnya, ditampilkan dijual dari pabrik seharga 1.400 dolar AS, sementara harga pasarnya bisa mencapai 30.000 dolar AS.
Tak hanya tas, produk olahraga seperti legging merek Lululemon juga disebut dijual di Amerika dengan harga 69 hingga 100 dolar AS, padahal di tingkat pabrik hanya dibanderol sekitar 5 hingga 6 dolar AS. Kreator lainnya bahkan mengklaim produsen barang-barang untuk jenama Louis Vuitton menjual produk serupa dengan harga 50 dolar AS.
Unggahan-unggahan di bawah tagar #chinamanufacturer ini menarik jutaan penonton dan menyertakan kontak langsung ke pabrik, memungkinkan konsumen membeli produk serupa tanpa merek—dengan kualitas yang diklaim serupa produk mewah.
Bantahan Merek Mewah dan Isu Misinformasi
Di tengah viralnya konten tersebut, berbagai jenama ternama memberikan klarifikasi. Beberapa merek mewah menegaskan bahwa produk mereka tidak diproduksi di China dan menolak klaim kolaborasi dengan pabrik-pabrik yang disebutkan dalam video. Bahkan, sejumlah perusahaan memperingatkan publik untuk berhati-hati terhadap produk palsu dan potensi misinformasi yang beredar di platform media sosial.
Sebagian rumah mode juga menyatakan bahwa proses produksi utama dilakukan di Eropa, seperti Italia, Prancis, atau Inggris. Merek seperti Valentino, Tom Ford, dan Bvlgari misalnya, diklaim tetap mempertahankan produksi eksklusif di Eropa untuk menjaga kualitas dan citra.
Namun, sejumlah pakar menyatakan bahwa kenyataan di lapangan tak selalu transparan. Beberapa merek mewah memang kerap merakit sebagian komponen produk di negara seperti China, lalu menyelesaikannya di negara asal mereka untuk mendapat label “Made in Italy” atau “Made in France”. Proses ini dianggap sah selama bagian akhir produksi dilakukan di negara tersebut.
Latar Belakang Perang Dagang AS-China
Fenomena ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China. Pemerintahan Presiden Donald Trump kembali menaikkan tarif impor dari China hingga 245 persen, sebagai bagian dari strategi perdagangan yang lebih proteksionis. Kenaikan tarif ini mendorong reaksi dari produsen China, yang kemudian memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan jalur pembelian langsung sebagai alternatif.
Para analis memandang aksi para kreator dan produsen ini sebagai respons terhadap tekanan perdagangan dan sekaligus sebagai strategi untuk menarik konsumen global yang ingin menikmati produk berkualitas tinggi dengan harga lebih terjangkau. Bagi produsen China, ini juga dianggap sebagai peluang untuk memperluas pasar di tengah pembatasan ekspor.
Risiko dan Pertaruhan Reputasi
Meski menarik bagi sebagian konsumen, langkah para produsen untuk mengungkap identitas mereka sebagai pemasok merek-merek mewah bukan tanpa risiko. Langkah ini berpotensi menghancurkan kerahasiaan rantai pasok yang dijaga ketat oleh jenama global. Jika benar mereka adalah pemasok resmi, hal ini dapat memicu pemutusan kontrak oleh brand ternama demi menjaga eksklusivitas dan reputasi.
Di sisi lain, tidak ada jaminan kualitas atau keaslian ketika konsumen membeli langsung dari pabrik melalui tautan TikTok. Tidak ada kepastian soal kontrol mutu, pengembalian barang, maupun legalitas produk tersebut.
Sentimen Nasional dan Strategi Bisnis
Beberapa pihak melihat kampanye pengungkapan ini sebagai bagian dari sentimen nasional dan strategi menghadapi tekanan ekonomi global. Dengan menyuarakan produksi dalam negeri, publik dan produsen di China dinilai sedang membangun solidaritas ekonomi nasional sembari memanfaatkan peluang di tengah kebijakan perdagangan AS yang semakin ketat.
Meski masih sulit dibuktikan sepenuhnya apakah semua klaim yang beredar sahih, fenomena ini membuka diskusi yang lebih luas tentang transparansi industri fashion, rantai pasok global, serta bagaimana citra sebuah produk bisa begitu jauh dari tempat asal dan biaya produksinya. (*)