Apeepoocalypse, Ancaman Kesehatan Bayi yang Masih Dianggap Remeh

Apeepoocalypse menjadi ancaman dibalik popok bayi. -foto Sumber-Net-

Radarlambar.bacakoran.co - Fenomena yang dikenal dengan istilah "Apeepoocalypse" kini menjadi perhatian global di kalangan orang tua dan tenaga medis. Istilah ini berasal dari gabungan kata “pee” (air seni), “poo” (feses), dan “apocalypse” (kiamat), yang menggambarkan kondisi darurat ketika bayi mengalami ruam popok parah akibat paparan campuran urine dan feses yang terlalu lama. Walaupun masalah ini telah banyak disorot di berbagai negara, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap bahaya ini masih tergolong rendah.

Sebagian besar orang tua di Indonesia masih menganggap ruam popok sebagai kondisi wajar yang bisa hilang dengan sendirinya. Padahal, jika tidak ditangani dengan tepat, ruam popok bisa berkembang menjadi infeksi kulit serius yang memerlukan perawatan medis. Bayi yang mengalami kondisi ini bisa merasakan gatal, perih, bahkan nyeri ketika kulit mereka menjadi lembab, merah, dan meradang akibat kontak berkepanjangan dengan kotoran.

Dari hasil penelusuran berbagai studi medis dan penjelasan para ahli, diketahui bahwa salah satu penyebab utama dari ruam popok adalah peningkatan pH kulit bayi yang disebabkan oleh amonia yang terbentuk dari campuran urine dan feses. Ketika kulit yang sensitif ini terus-menerus berada dalam lingkungan basa, pertahanan alaminya menjadi rusak. Dalam kondisi normal, pH kulit bayi berkisar antara 5,5 hingga 6,0. Namun saat terjadi Apeepoocalypse, pH kulit bisa melonjak hingga di atas 7,0. Kelembaban tinggi dan peningkatan pH ini mempercepat aktivitas enzim pemecah makanan, seperti protease dan lipase, yang terdapat dalam tinja. Paparan enzim-enzim ini berpotensi merusak jaringan kulit dan membuatnya tiga kali lebih rentan terhadap iritasi.

Situasi ini diperparah oleh kurangnya solusi teknologi di dalam negeri. Sejumlah negara seperti Vietnam, Brazil, dan Cina sudah mulai mengembangkan popok yang mampu menjaga keseimbangan pH kulit atau bahkan memisahkan antara air seni dan feses dalam popok. Namun, inovasi serupa belum tersedia secara luas di Indonesia, sehingga orang tua harus bergantung pada cara-cara konvensional untuk mencegah ruam popok.

Salah satu narasumber yang aktif mengkaji isu ini adalah dr. Clara Triana, dokter spesialis anak di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Ia menegaskan bahwa langkah preventif menjadi satu-satunya cara yang paling bisa diandalkan saat ini. Orang tua dianjurkan untuk lebih sering mengganti popok, memastikan area bokong bayi dibersihkan dengan lembut namun menyeluruh setiap kali mengganti popok, serta memilih produk popok yang memiliki daya serap tinggi dan dirancang untuk kulit sensitif.

Meski telah banyak disosialisasikan di media sosial dan forum-forum parenting, isu ini tetap belum mendapatkan perhatian serius dari pelaku industri dan pemerintah. Padahal, kebutuhan akan inovasi produk yang mampu menekan risiko Apeepoocalypse semakin mendesak, mengingat dampaknya terhadap kenyamanan dan kesehatan bayi dalam jangka panjang.

Fenomena Apeepoocalypse menandai pentingnya pemahaman orang tua terhadap kesehatan kulit bayi, bukan hanya dari sisi kebersihan, tetapi juga dari aspek ilmiah seperti keseimbangan pH dan reaksi biokimia yang terjadi akibat interaksi antara kotoran dan kulit. Sampai muncul solusi nyata dan terjangkau, edukasi dan kesadaran menjadi kunci utama untuk mencegah kondisi ini terus meluas di Indonesia.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan