Kisah Romantis Bung Karno dan Haryati di Tengah Konflik Papua

Kisah Romantis Bung Karno dan Haryati di Tengah Konflik Papua. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Di balik gemuruh perjuangan merebut Irian Barat dari cengkeraman Belanda, terselip kisah cinta Bung Karno yang jarang terdengar. Tepat pada 21 Mei 1963, sang proklamator menikahi Haryati, seorang penari berbakat yang pernah memukau di Istana Negara. Haryati bukan orang sembarangan—dia adalah putri dari Kanjeng Pangeran Koesoemajoedho, mantan Bupati Ponorogo.
Kisah mereka bermula dari seni dan jatuh cinta. Haryati yang bekerja sebagai staf bidang kesenian di Sekretariat Negara menarik perhatian Bung Karno setelah membawakan tarian Menakjinggo. Keduanya saling terpikat, lalu memutuskan untuk menikah. Bulan madu mereka idak kalah unik bukan di hotel mewah namun di atas kapal perang paling canggih milik Indonesia saat itu—KRI Irian.
Bulan Madu di Atas Kapal Perang Raksasa
KRI Irian bukan sekadar kapal, tapi simbol kekuatan dan determinasi Indonesia di masa penuh gejolak. Kapal penjelajah berat ini awalnya milik Uni Soviet, bernama Ordzhonikidze (310). Dibangun pada awal 1950-an, kapal ini akhirnya dibeli Indonesia pada Oktober 1961 di tengah memanasnya konflik dengan Belanda terkait Irian Barat.
Bung Karno membawa Haryati ke Makassar lewat jalur udara, lalu keduanya melanjutkan perjalanan dengan menumpang KRI Irian menuju Papua. Bagi pasangan ini, debur ombak dan semilir angin di atas kapal perang menjadi saksi bulan madu yang tak biasa—perpaduan cinta dan nasionalisme.
KRI Irian: Dari Raksasa Soviet ke Tangan Indonesia
Pembelian KRI Irian merupakan bagian dari strategi besar Sukarno dalam menghadapi Belanda yang kala itu bersikukuh mempertahankan Papua Barat. Kapal ini berperan penting dalam tekanan militer Indonesia, yang dikenal sebagai bagian dari Operasi Trikora.
Menurut berbagai catatan militer, KRI Irian dikawal pesawat pembom jarak jauh Tu-16KS dengan rudal mematikan, cukup untuk membuat kapal induk Belanda, HNLMS Karel Doorman, mengurungkan niatnya mendekati perairan Indonesia. Ini menjadi bukti bahwa Indonesia saat itu sangat serius menyiapkan kekuatan untuk mempertahankan kedaulatan.
Strategi Besar: Operasi Trikora dan Komando Mandala
Upaya membebaskan Papua tidak hanya dilakukan lewat kekuatan militer, tapi juga diplomasi tingkat tinggi. Setelah upaya Belanda membentuk Dewan Papua dan menyiapkan negara boneka, Sukarno merespons dengan pidato legendarisnya di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Dalam pidato itulah ia mengumandangkan Trikora—Tri Komando Rakyat—sebagai bentuk penolakan total terhadap negara Papua buatan Belanda.
Sukarno kemudian membentuk Komando Mandala, yang dipimpin Mayjen Soeharto, untuk melancarkan operasi militer ke wilayah itu. Tahapan operasi meliputi penyusupan (infiltrasi), serangan terbuka (eksploitasi), dan penguatan kontrol wilayah (konsolidasi).
Diplomasi Global dan Akhir Sengketa
Ketegangan memuncak hingga akhirnya masuk ke forum internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui diplomat AS Ellsworth Bunker mengusulkan transisi kekuasaan Papua Barat dari Belanda ke Indonesia lewat badan sementara PBB (UNTEA). Kesepakatan ini tercapai pada 1962, disusul dengan pengambilalihan administratif oleh Indonesia pada 1963.
Meski demikian, finalisasi status Papua masih menimbulkan kontroversi hingga kini. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang digelar Indonesia dianggap banyak pihak penuh tekanan dan manipulasi. Meski begitu, hasilnya—yaitu integrasi Papua ke NKRI—diakui oleh mayoritas negara dunia.
Romansa di Tengah Perjuangan
Di balik keputusan-keputusan besar yang mempengaruhi geopolitik Asia Tenggara, terselip jejak personal seorang pemimpin yang juga seorang suami dan kekasih. Bung Karno dan Haryati menjalani hari-hari awal pernikahan mereka di atas kapal yang membawa misi besar: menyatukan Papua dengan Indonesia.
Romansa ini memperlihatkan sisi lain dari sejarah—bahwa cinta dan perjuangan bisa berjalan berdampingan, bahkan dalam masa-masa paling genting sekalipun. (*)