Produksi Gula Nasional Selalu Kurang, Fakta Ini Muncul dalam Sidang Kasus Tom Lembong

Sidang Tom Lembong ungkap produksi gula nasional tak pernah cukup-Ilustrasi: Canva@Budi Setiawan-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Persidangan kasus dugaan korupsi kebijakan impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong kembali mengungkap sejumlah fakta penting.
Salah satunya adalah kenyataan bahwa sejak lama, produksi gula nasional belum pernah berhasil memenuhi kebutuhan konsumsi domestik.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, mantan Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN, Wahyu Kuncoro, hadir sebagai saksi dan memberikan gambaran rinci mengenai kapasitas produksi gula di dalam negeri.
Berdasarkan pengalamannya selama mengikuti penyusunan neraca komoditas nasional—yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian—Wahyu menuturkan bahwa Indonesia belum pernah mengalami surplus produksi gula.
Ia menjelaskan bahwa Kementerian BUMN secara rutin membawa data potensi produksi dari dua BUMN utama, yaitu PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).
Dalam data tersebut tercatat bahwa kedua perusahaan BUMN tersebut rata-rata hanya mampu memproduksi sekitar 1,5 hingga 1,6 juta ton gula setiap tahunnya. Sementara itu, perusahaan swasta di dalam negeri hanya bisa menyumbang sekitar 1 juta ton.
Jika dijumlahkan, total produksi nasional hanya mencapai sekitar 2,6 juta ton per tahun, sedangkan kebutuhan konsumsi nasional diperkirakan menyentuh angka 3 juta ton.
Artinya, Indonesia selalu mengalami kekurangan sekitar 400 ribu ton setiap tahun, kekurangan yang selama ini ditutupi dengan kebijakan impor.
Fakta inilah yang kemudian menjadi latar belakang kebijakan impor gula oleh Tom Lembong saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan periode 2015–2016. Namun, kebijakan tersebut justru menjadi pangkal perkara yang kini disidangkan.
Jaksa penuntut menilai bahwa Tom telah melanggar ketentuan hukum dengan menerbitkan izin impor tanpa melakukan koordinasi yang seharusnya dengan kementerian dan lembaga terkait.
Lebih lanjut, jaksa juga mempermasalahkan keputusan Tom menunjuk sejumlah koperasi, termasuk yang berafiliasi dengan institusi TNI dan Polri, untuk mengendalikan harga gula di pasaran.
Langkah ini dianggap menyimpang dari praktik yang lazim, di mana perusahaan-perusahaan BUMN seharusnya dilibatkan dalam pengelolaan komoditas strategis seperti gula.
Dalam dakwaan, Tom dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa menyebut bahwa tindakan tersebut bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga memperkaya pihak tertentu dan menyebabkan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp578 miliar.