Lagi, Amerika Kritik Larangan Ekspor Nikel Indonesia

Ilustrasi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Ketua Harian Dewan Energi Nasional (DEN) Bahlil Lahadalia mengebut aturan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). AFPP-HOTO--
Radarlambar.bacakoran.co- Pemerintah Amerika Serikat melalui Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) kembali mengkritik kebijakan Indonesia yang melarang ekspor bijih nikel, yang dianggap dapat berdampak negatif terhadap rantai pasok global, terutama pada sektor baja dan aluminium, serta berkontribusi pada kelebihan kapasitas global.
Larangan ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang telah diperbarui pada 2020. Dalam kebijakan tersebut, Indonesia melarang ekspor sejumlah bijih mineral, termasuk nikel, bauksit, tembaga, dan timah.
Menurut Dr. Hendri Saparini, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), meskipun kebijakan larangan ekspor bijih nikel bertujuan untuk mendorong industri hilir dalam negeri, dampaknya terhadap pasar global perlu menjadi perhatian. Negara-negara besar yang bergantung pada nikel dari Indonesia, seperti China dan Jepang, bisa terkena dampak karena keterbatasan pasokan bahan baku yang esensial bagi industri mereka. Hendri menjelaskan bahwa kebijakan ini memang bisa menguntungkan sektor dalam negeri, tetapi Indonesia harus lebih berhati-hati dalam mempertimbangkan dampaknya terhadap stabilitas ekonomi global.
Di sisi lain, Dr. Arief Budiman, seorang pakar hubungan internasional dan perdagangan dari Universitas Indonesia, menilai bahwa meskipun Indonesia memiliki hak untuk mengelola sumber daya alamnya, kebijakan tersebut harus tetap sesuai dengan kewajiban internasional yang tercatat dalam kesepakatan di WTO.
Menurutnya, Indonesia perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak melanggar aturan perdagangan internasional yang telah disepakati bersama. Arief menambahkan bahwa jika larangan ekspor bijih nikel dianggap bertentangan dengan komitmen WTO, Indonesia harus memikirkan cara untuk mengatasi masalah ini, baik melalui banding atau dengan merumuskan kebijakan alternatif.
Terkait dengan peran AS dalam isu ini, Marta S. Lestari, seorang analis perdagangan internasional dari Lembaga Kajian Perdagangan Global (LKPG), menyatakan bahwa Amerika Serikat aktif dalam mengajukan keberatan atas kebijakan Indonesia melalui forum WTO. Hal ini tercermin dalam keputusan panel sengketa WTO yang menyatakan bahwa larangan ekspor bijih nikel Indonesia tidak sesuai dengan kewajiban perdagangan internasional Indonesia. Meskipun Indonesia mengajukan banding atas putusan tersebut, Lestari mengingatkan bahwa keputusan tersebut tetap akan mempengaruhi hubungan perdagangan internasional Indonesia.
Selain itu, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dalam sektor minyak dan gas juga mendapat perhatian dari USTR. Kebijakan ini mengharuskan perusahaan untuk menjual sebagian dari produksi minyak mentah dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan harga pasar internasional, yang dapat menambah tekanan bagi investor asing. Dr. Roni F. Wibowo, seorang ahli energi dari Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan bahwa meskipun kebijakan DMO ditujukan untuk menjaga kestabilan pasokan energi domestik, kebijakan ini bisa mengurangi daya tarik Indonesia bagi investor asing yang menginginkan harga pasar yang lebih adil dan wajar. Dengan harga jual domestik yang jauh di bawah harga pasar internasional, investor asing mungkin merasa kurang tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Marta S. Lestari juga menyoroti bahwa DMO dapat memberikan tekanan tambahan pada perusahaan energi asing. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memengaruhi keputusan investasi asing di sektor energi Indonesia, karena ketidakpastian dalam harga jual domestik. Hal tersebut bisa berdampak pada sektor energi Indonesia yang sangat bergantung pada investasi luar negeri untuk meningkatkan kapasitas produksi dan memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.
Pakar ekonomi internasional, Prof. Dr. Budi Santosa dari Universitas Airlangga, menyarankan Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan internasional dan sektor energi. Budi mengingatkan bahwa meskipun Indonesia memiliki hak untuk melindungi sektor domestik, kebijakan yang terlalu proteksionis bisa merugikan negara dalam jangka panjang, terutama dalam hubungan perdagangan dengan negara-negara besar yang menjadi mitra utama Indonesia. Pemerintah Indonesia perlu mencari keseimbangan antara kepentingan dalam negeri dan hubungan perdagangan internasional.
Sebagai penutup, Dr. Joseph Chang dari Asian Development Bank (ADB) menambahkan bahwa Indonesia harus mempertimbangkan dengan matang dampak kebijakan proteksionis terhadap hubungan dagang global. Jika kebijakan tersebut diteruskan tanpa penyesuaian, Indonesia mungkin akan kehilangan peluang perdagangan jangka panjang yang sangat penting. Dalam hal ini, fleksibilitas dalam kebijakan akan menjadi kunci untuk menjaga hubungan baik dengan mitra dagang internasional sekaligus memastikan pertumbuhan ekonomi domestik yang berkelanjutan. *