Sejarah Kelam Senjata Biologis: Dari Wabah, Tinja, hingga Julukan "Kota Tahi"

Sejarah Kelam Senjata Biologis: Dari Wabah, Tinja, hingga Julukan "Kota Tahi". Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Penggunaan senjata biologis bukan hal baru dalam sejarah umat manusia. Sejak ratusan tahun lalu, wabah penyakit kerap dimanfaatkan sebagai alat perang. Salah satu peristiwa paling mencolok terjadi saat pengepungan Kaffa oleh tentara Mongol antara tahun 1343 hingga 1347. Mereka melemparkan mayat korban wabah pes bubo ke dalam kota, menyebarkan infeksi mematikan yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis.
Berabad-abad kemudian, pada masa Perang Dunia II, militer Jepang kembali memanfaatkan wabah penyakit sebagai senjata dalam Perang Tiongkok-Jepang. Unit 731 yang dipimpin Shiro Ishii, seorang dokter militer, dikenal sebagai otak di balik eksperimen senjata biologis Jepang yang mengerikan. Salah satu aksinya terekam dalam insiden pengeboman di kota Ningbo.
Namun, peristiwa yang tak kalah menarik terjadi di Nusantara pada abad ke-17. Tepatnya pada tahun 1628-1629, pasukan Mataram di bawah komando Sultan Agung melancarkan serangan besar-besaran ke Batavia, pusat kekuasaan VOC. Sayangnya, mereka harus menghadapi strategi pertahanan yang tak biasa—VOC melawan dengan senjata yang tak lazim: tinja manusia.
Senjata Jijik Penentu Pertempuran
Ketika pasukan Mataram mulai menggempur Benteng Hollandia (kini dikenal sebagai kawasan Jakarta Kota), para serdadu VOC terdesak. Persediaan mesiu dan amunisi menipis. Dalam kondisi genting, salah satu sersan muda bernama Hans Madelijn muncul dengan ide ekstrem: menggunakan tinja sebagai senjata darurat.
Pot-pot berisi kotoran manusia dilemparkan ke arah pasukan Mataram. Tinja-tinja itu meledak saat menghantam tanah atau tubuh lawan, menyebabkan pasukan Jawa porak-poranda dan kehilangan formasi. Rasa jijik dan bau yang menyengat membuat banyak prajurit mundur dan bahkan muntah di medan perang.
Serangan biologis dadakan ini ternyata cukup efektif untuk memukul balik pasukan Mataram. Kegagalan penyerangan tersebut bahkan melahirkan ejekan terhadap Batavia. Di kalangan prajurit Mataram, kota itu dijuluki sebagai "Kota Tahi", sebuah bentuk kemarahan sekaligus rasa malu atas kekalahan yang tak terduga.
Asal-Usul Julukan Tanah Betawi
Beberapa sejarawan, seperti Zaenuddin HM, mencatat bahwa insiden ini turut mewarnai sejarah asal-usul nama "Betawi". Teriakan prajurit Mataram seperti "Mambet tahi!" yang artinya "bau tahi!", disebut-sebut sebagai cikal bakal nama wilayah itu. Bahkan menurut F. De Haan, sebutan “Gang Tahi” pernah digunakan oleh warga lokal untuk menyebut salah satu jalan dekat bekas benteng VOC.
Keterangan sejarah ini tak hanya berasal dari narasi lisan atau babad, tetapi juga tercatat dalam berbagai dokumen sejarah Eropa dan Jawa. Dalam Babad Tanah Jawi dan Babad Dipanagara, disebutkan bagaimana serangan VOC dengan "peluru tinja" berhasil mengacaukan barisan musuh. Bahkan Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java pun menyinggung kisah ini, menandakan bahwa insiden tersebut bukan sekadar mitos lokal.
Jejak Perang Kotor yang Membekas
Kisah penggunaan tinja sebagai senjata dalam penyerbuan Batavia menjadi salah satu bukti betapa tidak lazim dan brutalnya strategi perang pada masa lalu. Dalam kondisi terjepit, segala cara bisa dilakukan, bahkan yang paling menjijikkan sekalipun. Dan dari peristiwa ini, kita mewarisi sebuah nama yang kini akrab di telinga: Betawi. (*)