Tragedi di Washington: Penembakan Staf Kedubes Israel dan Manifesto Halilintar

Kantor Kedutaan Besar RI di Washington-Foto kemlu.go.id-
Radarlambar.bacakoran.co -Washington DC diguncang oleh aksi penembakan tragis yang menewaskan dua staf Kedutaan Besar Israel untuk Amerika Serikat. Insiden ini terjadi di sekitar Capital Jewish Museum pada malam 22 Mei 2025 waktu setempat. Pelakunya adalah Elias Rodriguez, pria berusia 30 tahun asal Chicago, yang kini telah ditahan oleh pihak kepolisian.
Menurut keterangan resmi dari Kepala Polisi Metropolitan Washington, Pamela Smith, kedua korban menjadi sasaran setelah keluar dari sebuah acara yang berlangsung di museum tersebut. Seruan pro-Palestina terdengar dari pelaku sebelum melepaskan tembakan, menambah dimensi politik pada tragedi ini.
Yang menarik perhatian publik bukan hanya aksi kekerasan itu sendiri, tetapi juga sebuah manifesto digital yang diduga menjadi motivasi ideologis pelaku. Manifesto tersebut, yang pertama kali dipublikasikan oleh seorang jurnalis independen Amerika, mengandung narasi panjang tentang penderitaan rakyat Palestina dan mengangkat kata berbahasa Indonesia sebagai simbol semangat: halilintar.
Dalam tulisan itu, halilintar dijadikan metafora atas ledakan perlawanan terhadap apa yang disebut sebagai ketidakadilan sistemik terhadap warga Palestina. Manifesto tersebut menyuarakan frustrasi mendalam atas jumlah korban yang terus meningkat akibat konflik, menyalahkan kekuatan politik besar karena dianggap membiarkan tragedi kemanusiaan terus berlangsung.
Elias menggambarkan dirinya sebagai bagian dari kelompok yang kecewa terhadap respons dunia internasional yang dinilainya pasif, dan merasa bahwa aksi ekstrem adalah satu-satunya cara untuk “mengembalikan kesadaran” publik. Ia menyebut nama-nama tokoh lain yang pernah melakukan aksi dramatis demi membela Gaza, dan menyinggung tentang ketimpangan antara narasi publik dan realitas di lapangan.
Lebih dari sekadar dokumen kemarahan, tulisan itu mencerminkan krisis moral yang dirasakan sebagian kalangan terhadap keterlibatan politik luar negeri dalam konflik di Timur Tengah. Elias menutup manifestonya dengan pernyataan emosional kepada keluarganya, seraya menyerukan pembebasan bagi Palestina.
Kini, publik menghadapi kenyataan pahit: sebuah tragedi kemanusiaan telah melahirkan tragedi lainnya. Tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama keadilan malah menambah daftar korban. Manifesto halilintar bukan hanya catatan dari seorang pelaku, tetapi juga cermin dari ketegangan global yang belum kunjung mereda.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa konflik berskala internasional memiliki dampak nyata hingga ke jantung ibukota negara adidaya. Dunia kembali dihadapkan pada pertanyaan lama yang tak kunjung terjawab: bagaimana seharusnya keadilan ditegakkan tanpa menciptakan lingkaran kekerasan baru? (*)