Paradoks Ekonomi: Di Antara Angka Kemiskinan dan Citra Kemakmuran

Daerah kumuh dengan status masyarakat miskin. -Foto Freepik-
Radarlambar.bacakoran.com - Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia memunculkan potret kontras dalam wajah ekonomi Indonesia. BPS mencatat tingkat kemiskinan pada September 2024 berada di angka 8,57 persen atau setara 24,06 juta jiwa. Sementara di sisi lain, Bank Dunia memperlihatkan angka yang jauh lebih mencengangkan—lebih dari 60,3 persen penduduk atau 171,8 juta jiwa dikategorikan hidup di bawah garis kemiskinan global.
Perbedaan ini bukan sekadar akibat dari perbedaan metode perhitungan. Di baliknya tersembunyi realitas ekonomi yang kompleks: sebuah sistem yang bergerak dinamis, mampu beradaptasi, namun penuh paradoks. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar dalam konteks lokal, sedangkan Bank Dunia mengadopsi standar internasional berdasarkan paritas daya beli. Maka muncullah dua wajah yang saling berseberangan—satu menggambarkan penurunan kemiskinan, satunya lagi menyuarakan keresahan akan kemiskinan struktural.
Di tengah ketimpangan angka tersebut, Indonesia justru mendapat predikat sebagai negara dengan masyarakat paling makmur dari Harvard University. Bukan karena tingginya pendapatan, tetapi karena daya hidup ekonomi rakyat kecil yang menunjukkan ketahanan luar biasa. Sektor informal yang menampung hampir 60 persen tenaga kerja menjadi tulang punggung yang tetap kukuh bahkan saat badai pandemi menerpa. Pelaku UMKM menunjukkan kelincahan beradaptasi melalui digitalisasi, menjadikan mereka motor penggerak ekonomi yang tak boleh diabaikan.
Contoh nyatanya terlihat saat pandemi COVID-19 memukul sendi-sendi perekonomian. Sekitar 20 juta UMKM bertahan dengan mengalihkan usaha mereka ke ranah digital. Dari pedagang pasar hingga pengrajin batik, mereka bertransformasi menjadi pemain e-commerce yang mampu menembus batas wilayah dan waktu. Interaksi mereka dengan konsumen melalui platform daring menciptakan sebuah ekosistem ekonomi baru, di mana kreativitas dan respons cepat menjadi modal utama.
Namun, kemajuan ini tidak datang tanpa tantangan. Digitalisasi yang berkembang pesat turut melahirkan ketimpangan baru. Hanya sebagian kecil UMKM yang mampu bersaing secara mandiri. Sisanya bergantung pada promosi berbayar dan algoritma platform besar yang sering kali tak berpihak pada produk lokal. Persaingan yang timpang ini bahkan diperparah oleh praktik tidak sehat dari korporasi besar, yang menggunakan strategi harga mematikan untuk menguasai pasar.
Kesenjangan antara pemain besar dan pelaku kecil ini menegaskan perlunya reformasi kebijakan berbasis keadilan dan inklusivitas. Pertama-tama, integrasi data digital ke dalam perencanaan pembangunan harus segera dilakukan. Pemerintah bisa memanfaatkan data transaksi daring sebagai penunjuk tren konsumsi dan indikator dini kerentanan ekonomi, jauh lebih cepat dari survei konvensional.
Selain itu, pembangunan ekosistem digital tidak bisa terpusat. Setiap daerah perlu didorong untuk menjadi pusat inovasi berbasis potensi lokal. Literasi digital bagi UMKM harus diperluas, agar pelaku usaha tidak sekadar menjadi pengguna platform, melainkan pengendali strategi pemasaran mereka sendiri.
Pemerintah juga dituntut tegas dalam menjaga iklim persaingan usaha yang sehat. Pengawasan terhadap praktik monopoli dan dominasi platform digital perlu diperketat. Langkah konkret seperti menetapkan kuota tampilan produk lokal di platform besar bisa menjadi penyeimbang, sambil tetap mendorong inovasi dan efisiensi pasar.
Fakta bahwa angka kemiskinan dan kemakmuran bisa hadir bersamaan tidak lantas berarti kegagalan dalam pengelolaan negara. Sebaliknya, ini adalah karakter dari sebuah sistem ekonomi yang hidup—kompleks, dinamis, dan terus berkembang. Di dalam sistem ini, stabilitas tidak lahir dari kontrol ketat, melainkan dari kemampuan adaptasi dan kolaborasi.
Indonesia memiliki modal besar: populasi muda, adopsi digital yang cepat, serta budaya gotong royong yang masih kuat. Jika kebijakan diarahkan untuk mengakomodasi keragaman dan memberdayakan yang kecil, maka jalan menuju kemakmuran yang merata bukanlah sekadar harapan.
Dalam era yang penuh ketidakpastian ini, masa depan bukan lagi persoalan meramal angka. Ia adalah ruang kemungkinan, tempat segala bentuk kebijakan, inovasi, dan keberanian berkolaborasi bisa menciptakan perubahan. Kini tinggal bagaimana negara memanfaatkan kompleksitas ini sebagai kekuatan, bukan sebagai beban. (*/rinto)