Raja Ampat: Keindahan yang Terganggu dan Kenangan yang Terlupakan

--

Radarlambar.bacakoran.co -Raja Ampat, permata biru di timur Indonesia, sudah lama dikenal dunia sebagai surga bawah laut. Gugusan pulau-pulau eksotis yang terletak di Provinsi Papua Barat Daya ini menyuguhkan pesona luar biasa—dari pasir putih selembut tepung hingga terumbu karang yang memukau penyelam dari berbagai penjuru dunia. Kawasan ini bahkan disebut-sebut sebagai wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia.

Namun, di balik panorama memesona itu, terselip cerita getir yang mulai mencemaskan: tambang nikel. Beberapa tahun terakhir, aktivitas pertambangan mulai merambah ke kawasan yang dulunya nyaris murni dari polusi industri. Isu lingkungan pun mengemuka, memantik kekhawatiran banyak pihak bahwa kelestarian alam Raja Ampat bisa terancam.

Tapi, di tengah riuh polemik tambang itu, ada kisah yang nyaris terlupakan—kisah tentang klub sepak bola yang pernah membawa nama Raja Ampat ke panggung nasional: Persiram Raja Ampat.

Didirikan pada tahun 2004, Persiram atau yang dijuluki “Dewa Laut” sempat menjadi kebanggaan masyarakat Papua. Bersama klub-klub besar dari Bumi Cenderawasih seperti Persipura Jayapura dan Persiwa Wamena, Persiram turut mewarnai kompetisi nasional dengan semangat dan talenta khas Papua.

Beberapa nama besar pernah mengenakan jersey Dewa Laut. Ada Titus Bonai dan Oktovianus Maniani, dua ikon Papua yang meledak di level nasional. Bahkan striker naturalisasi asal Nigeria, Osas Saha, pernah membela panji Persiram. Di sisi kepelatihan, klub ini sempat ditangani pelatih internasional seperti Raja Isa dari Malaysia dan Gomes de Oliveira dari Brasil.

Puncak kejayaan Persiram terjadi saat mereka berhasil menembus kasta tertinggi Indonesia Super League (ISL) pada musim 2011/2012. Bermarkas di Stadion Wombik, Kota Sorong, klub ini bukan hanya eksis, tetapi juga menjadi simbol kemajuan sepak bola Papua Barat.

Sayangnya, masa jaya itu tak bertahan lama. Konflik internal dan pembekuan liga oleh pemerintah pada tahun 2015 memaksa klub ini untuk menepi. Tahun berikutnya, Persiram dijual dan berubah menjadi PS TNI—menutup babak emosional dari sebuah tim yang mewakili semangat daerah kepulauan Raja Ampat.

Apakah kisah Persiram ada kaitannya dengan isu tambang yang kini menghantui Raja Ampat? Tidak. Sama sekali tidak ada hubungan langsung. Tapi kisah ini mengingatkan kita bahwa Raja Ampat bukan sekadar tempat indah untuk difoto dan dipromosikan. Ia juga pernah hidup dalam semangat olahraga, dalam kegembiraan warga menyambut gol, dan dalam kebanggaan ketika nama daerah mereka terdengar di stadion-stadion seluruh negeri.

Kini, ketika alamnya mulai menghadapi ancaman, mungkin sudah waktunya Raja Ampat kembali dibicarakan bukan hanya karena masalah, tetapi juga karena potensi dan sejarahnya yang tak kalah berharga. (*)



Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan