Kepungan Krisis di Iran: Khamenei Hadapi Bayang-Bayang Kekosongan Kekuatan

Khamenei Tegaskan Iran Siap Membalas Jika Diserang oleh AS. Foto/net--

Radarlabar.bacakoran.co -– Iran tengah berguncang di bawah tekanan berlapis. Serangan udara presisi dari Israel bukan hanya menghancurkan sasaran militer, tapi juga mengoyak jantung kekuasaan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei. Sejumlah penasihat terdekat yang selama ini menjadi pilar pertahanan dan pengambilan keputusan strategis, tewas dalam rentetan serangan sejak pertengahan Juni.

Gelombang kehilangan ini menimbulkan kekosongan besar di lingkaran dalam Khamenei—sebuah kelompok elite tak resmi yang selama ini menjadi sumber masukan kunci di tengah badai politik dan militer. Kehilangan mereka memperbesar risiko kesalahan strategi, apalagi di saat tekanan internasional dan domestik terus meningkat.

Di antara yang gugur, terdapat nama-nama besar: Komandan Garda Revolusi, kepala intelijen, hingga perancang kebijakan kedirgantaraan. Mereka bukan sekadar tokoh militer; mereka adalah benteng ideologi dan eksekutor garis keras dalam menjaga kelangsungan Republik Islam. Kini, benteng itu mulai runtuh batu demi batu.

Krisis ini datang di tengah usia senja Khamenei, yang kini menginjak 86 tahun. Meski dikenal sebagai figur kuat dan penuh perhitungan, kehilangan jaringan penasihat kepercayaannya membuat manuver politiknya semakin terbatas. Di sisi lain, tekanan geopolitik terus meningkat. Ketegangan dengan Israel mencapai titik didih, sementara respons militer Iran menuai kecaman dan berisiko mengisolasi negara itu lebih jauh.

Di dalam negeri, luka lama belum sembuh. Protes rakyat, dampak sanksi ekonomi, dan kekecewaan sosial masih membara di bawah permukaan. Selama ini, kekuatan Garda Revolusi dan milisi Basij digunakan untuk membungkam gelombang unjuk rasa. Namun tanpa kepemimpinan kuat di lapangan, efektivitas operasi keamanan bisa menurun drastis.

Dalam kekosongan ini, bayang-bayang kekuasaan mulai berpindah. Mojtaba Khamenei, putra sang pemimpin, disebut-sebut semakin menguatkan pengaruhnya. Selama dua dekade terakhir, ia membangun jaringan lintas faksi dan menjalin aliansi strategis dengan kekuatan militer, menjadikannya tokoh sentral dalam transisi kekuasaan yang mungkin terjadi di masa depan.

Meski begitu, jalan ke depan tidak mudah. Iran kini tidak hanya kehilangan tokoh-tokoh militer senior, tapi juga sekutu regional. Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah tewas dalam serangan pada akhir tahun lalu, sementara Presiden Suriah Bashar al-Assad dilaporkan tumbang dalam konflik internal negaranya.

Bagi Khamenei, ini adalah babak paling genting dalam kepemimpinannya. Ia masih memiliki beberapa tokoh loyalis di kantor pusat—tokoh-tokoh diplomasi, intelijen, dan keulamaan. Tapi tak bisa dipungkiri, ruang geraknya menyempit. Kekuatan militernya melemah, sekutu regionalnya rontok, dan tekanan publik di dalam negeri kian sulit dibendung.

Ketika api konflik terus menyala dan kabut ketidakpastian menyelimuti masa depan, Iran bergerak di atas tali tipis antara ketegasan dan kehancuran. Di tengah semua itu, satu pertanyaan besar menggantung di udara: apakah Republik Islam mampu bertahan dalam gejolak yang kian menggila? (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan