Forbes Ungkap 4 Modus Penipuan AI yang Ancam Fintech dan Rekening Pribadi

Ilustrasi logo deepseek. AP Photo--
Radarlambar.bacakoran.co.id – Dunia maya kini menghadapi ancaman baru dari maraknya penggunaan kecerdasan buatan (AI) oleh pelaku kejahatan siber. Teknologi yang seharusnya membantu produktivitas justru dimanfaatkan sindikat global untuk menipu dengan cara yang makin canggih dan sulit dikenali.
Laporan terbaru Forbes mengungkap empat modus penipuan berbasis AI yang patut diwaspadai oleh masyarakat maupun sektor finansial digital:
Deepfake & AI di Serangan Email Bisnis (BEC)
Serangan business email compromise kini berevolusi dengan AI. Penjahat mampu membuat video maupun audio palsu yang nyaris sempurna. Di Hong Kong, pegawai perusahaan ditipu lewat panggilan Zoom palsu dari “atasannya” dan diminta mentransfer hampir Rp480 miliar.
Data Forbes menyebut 53% profesional akuntansi di AS pernah menjadi target, sementara 40% email BEC kini dibuat sepenuhnya oleh AI.
Chatbot Penipu Asmara
Penipuan asmara tak lagi dilakukan manusia. Bot AI otonom kini mampu bercakap-cakap dengan korban tanpa aksen mencurigakan, membuat mereka percaya tengah menjalin hubungan dengan orang sungguhan. Kasus ini terpantau di media sosial, bahkan seorang pelaku dari Nigeria sempat membocorkan modus tersebut dalam video.
“Pig Butchering” dengan AI Massal
Skema penipuan investasi berkedok asmara atau bisnis, yang populer disebut pig butchering, kini berjalan otomatis lewat AI. Dengan perangkat seperti “Instagram Automatic Fans”, penipu mengirim pesan massal seperti “Temanku merekomendasikan kamu, apa kabar?”.
Lebih jauh, teknologi deepfake dan kloning suara dipakai untuk memperkuat kebohongan lewat panggilan video.
Pemerasan Deepfake ke Eksekutif & Pejabat
Kasus pemerasan bermodalkan video deepfake juga meningkat. Di Singapura, pejabat pemerintah menjadi target lewat ancaman video palsu yang memaksa pembayaran kripto puluhan ribu dolar. Konten dibuat dari foto atau video publik LinkedIn dan YouTube yang diolah dengan perangkat lunak deepfake yang semakin mudah diakses.
Forbes menilai tren ini akan terus berkembang, seiring penjahat siber memanfaatkan teknologi AI yang murah dan tersedia luas. Risiko terbesar mengancam perusahaan fintech, bank digital, hingga individu dengan rekening pribadi.