Pendapatan Warga RI Makin Terkuras untuk Bayar Cicilan

Survei Konsumen Bank Indonesia menunjukkan peningkatan proporsi pembayaran cicilan atau utang terhadap pendapatan pada Agustus 2025. -Foto-iStock-

RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) per Agustus 2025 menunjukkan dinamika baru dalam perilaku keuangan rumah tangga Indonesia. Proporsi pendapatan yang dialokasikan untuk membayar cicilan atau utang (debt to income ratio) tercatat naik menjadi 11,4 persen, dari bulan sebelumnya yang sebesar 10,9 persen.

Peningkatan beban cicilan paling terasa pada kelompok pengeluaran rendah-menengah, khususnya rumah tangga dengan belanja bulanan Rp1 juta–Rp2 juta yang alokasi cicilannya mencapai 9,6 persen, serta kelompok Rp3,1 juta–Rp4 juta dengan porsi cicilan mencapai 12,1 persen.

Kenaikan beban ini memberi sinyal bahwa meskipun akses pembiayaan semakin luas, kapasitas rumah tangga untuk konsumsi ikut tertekan. BI mencatat proporsi konsumsi terhadap pendapatan (average propensity to consume ratio) turun menjadi 74,8 persen, lebih rendah dibanding Juli 2025 yang masih 75,4 persen. Penurunan konsumsi terjadi terutama di segmen menengah bawah, yang selama ini menjadi penopang utama daya beli domestik.

Sementara itu, alokasi pendapatan untuk tabungan (saving to income ratio) relatif stabil di level 13,7 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian rumah tangga masih menahan belanja dan lebih memilih berjaga-jaga di tengah ketidakpastian ekonomi.

Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menilai tren ini perlu dicermati pemerintah. Menurutnya, naiknya beban cicilan di segmen berpengeluaran rendah bisa berimplikasi langsung pada daya beli masyarakat. Ia menekankan bahwa penurunan konsumsi rumah tangga berpotensi menekan laju pertumbuhan ekonomi, mengingat konsumsi berkontribusi lebih dari 50 persen terhadap PDB.

Hal senada disampaikan Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah, yang menyoroti potensi mismatch antara kenaikan kredit konsumsi dengan pertumbuhan pendapatan riil masyarakat. Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan agar ekspansi kredit tidak berubah menjadi beban yang justru memperlemah daya beli.

Meski terjadi peningkatan cicilan dan penurunan konsumsi, survei BI menunjukkan tingkat optimisme konsumen masih berada di zona positif. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tercatat sebesar 117,2, sedikit lebih rendah dari Juli 2025 (118,1), namun tetap di atas ambang batas optimisme (>100).

Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) berada di level 105,1, sedangkan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) tercatat 129,2. Data ini menandakan bahwa konsumen masih percaya dengan kondisi ekonomi masa depan, meskipun mereka mulai berhati-hati dalam pengeluaran saat ini.

Secara kelompok, optimisme tertinggi datang dari rumah tangga dengan pengeluaran di atas Rp5 juta per bulan dengan skor IKK 120,9. Artinya, konsumen kelas menengah atas masih menjadi penopang stabilitas keyakinan, sementara kelompok menengah bawah relatif lebih tertekan.

Pengamat perbankan dari LPPI, Trioksa Siahaan, menilai hasil survei ini harus dibaca sebagai peringatan dini. Menurutnya, ketika beban cicilan naik sementara konsumsi turun, maka pertumbuhan kredit tidak otomatis berdampak positif ke ekonomi. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang menjaga inflasi tetap rendah, penciptaan lapangan kerja, serta stimulus yang tepat sasaran agar daya beli rumah tangga tidak terus terkikis.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, melihat adanya momentum untuk mendorong kebijakan subsidi tepat dan penyaluran kredit produktif, bukan hanya konsumtif. Menurutnya, jika kebijakan fiskal dan moneter mampu mengarahkan pembiayaan ke sektor yang membuka lapangan kerja, maka optimisme konsumen bisa terjaga lebih lama.

Hasil survei BI Agustus 2025 memperlihatkan wajah ganda ekonomi rumah tangga Indonesia. Di satu sisi, beban cicilan meningkat sehingga ruang konsumsi semakin terbatas, terutama di kelompok masyarakat berpendapatan rendah-menengah. Namun di sisi lain, tingkat optimisme konsumen masih relatif kuat, terutama di kalangan menengah atas.

Kondisi ini memberi pesan bahwa arah kebijakan ekonomi harus menjaga keseimbangan: memacu pertumbuhan melalui pembiayaan, tetapi tetap memastikan beban cicilan tidak menggerus daya beli yang menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi nasional.(*/edi)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan